Berita pembunuhan yang membombardir kota ini membuat para warganya tak mau ambil resiko untuk menjadi sasaran selanjutnya.

Buktinya di jam delapan malam, kota ini sudah terlihat mati tak bernyawa.

Kantor yang biasa membuat karyawan lembur hingga larut malam kini mempercepat jam pulang para pekerjanya.

Beberapa toko yang terkadang buka hingga bulan menampakan sinar sudah menutup tirai ketika senja menyapa.

Club yang biasanya buka untuk mereka yang ingin berpesta tutup sementara karena tidak ingin bertambahnya korban jiwa.

Saat malam tiba, nyawa kota seolah menghilang. Tidak ada orang yang berlalu-lalang, tidak ada sekelompok warga yang menikmati indahnya waktu beristirahat, tidak ada suara kendaraan yang mengisi heningnya malam.

Yang masih hadir hanyalah suara para hewan nokturnal dan sekumpulan orang bejat yang akan mengambil kesempatan dikala kamu sedang lengah.

Minggu ini adalah minggu yang membuat siapapun bergidik ngeri kala mendengar kisahnya, menciptakan mimpi buruk bagi mereka yang ketakutan, dan memberikan suasana mencekam yang tidak kamu harapkan.

Semua hal-hal buruk serta menakutkan itu membuat para warga tidak punya pilihan selain berlindung, membiarkan kejahatan serta situasi berangsur mereda. Ketika semuanya sudah membaik, mereka baru akan berani melakukan aktivitas seperti biasanya.

Namun di tengah gempuran kabar yang membuat hati merasa resah, sesosok pria bertopi hitam dengan santainya berjalan di jalanan aspal bersinar remang.

Pria yang nampak berumur dua puluhan keatas itu sepertinya tidak takut dengan hal buruk yang bisa saja menimpanya.

Hahaha, untuk apa ia takut jika ia adalah sosok yang lebih menakutkan dibanding para manusia keji itu?

Jika benar ada orang yang akan berbuat jahat padanya, maka Marvin dengan senang hati akan memberikan dua pilihan.

Pulang dengan selamat dan berubah menjadi manusia baik murah hati atau pulang ke dalam tanah dengan kepala yang sudah putus dari nadi.

Di tengah sinar bulan yang menerangi hitamnya langit malam, Marvin melangkahkan kakinya menuju jalan yang mengarah ke arah hutan.

Sembari sesekali membetulkan posisi topinya, Pria kelahiran agustus itu tersenyum tipis mengingat kejadian yang ia anggap sebuah hiburan singkat di malam hari.

Si kerdil galak yang ia temui tadi sore, dengan tatapan ganas serta sinisnya berubah menjadi sesosok penakut yang blak-blakan ketika Marvin mengerjainya.

Lucu sekali, apalagi ketika mendengar Raska menutup pintu dengan kasar membuat Marvin ingin tertawa kencang.

Si pendek sok sinis nyatanya memendam nyali tikus di dalam dirinya.

Ah, ia seperti orang gila saja tersenyum di dini hari seperti ini. Dengan cepat Marvin langsung mengubah raut mukanya menjadi datar tanpa celah ketika sudah memasuki perkarangan rumah di tengah lebatnya pohon hutan.

Rumah itu terlihat besar dengan arsitektur sederhana, kondisi rumah yang bagus dan tak tampak dimakan oleh zaman membuat orang pasti berpikir “Mengapa ada rumah sebagus ini ditengah hutan belantara?”

Si Leo memasuki area halaman depan sebelum akhirnya ia membuka pintu dan masuk kedalam rumah yang bersuhu sedikit dingin.

Kondisi rumah yang sepi membuat langkah kakinya terdengar di seluruh ruangan. Entah dimana Noah serta lainnya, mungkin mereka sedang berada di dalam kamar atau di luar area rumah. Namun yang pasti suasana bangunan ini begitu hening dan tenang.

“Sudah selesai dengan urusanmu, Marvin?” Suara itu terdengar ketika Marvin memasuki area dapur. Membuat mata berpupil hitam itu langsung mengarahkan pandangan ke sosok yang sedang berdiri dekat meja makan.

Oh, pria tua itu lagi.

Si Leo bersikap biasa saja, seolah suara berat milik pria itu hanya angin yang lewat di antara telinganya.

“Noah bilang kau berpergian malam ini, tidak ada seseorang yang mencurigai mu 'kan?” Tanya pria itu lagi sembari melihat Marvin yang berjalan sambil melepas topinya.

“Tidak ada orang di jalanan, semua sudah masuk ke dalam rumah,” jawabnya sambil menaruh topi diatas meja pantry lalu menyandarkan tubuhnya.

“Jika pun ada yang curiga, sudah ku pastikan ia akan bungkam selamanya, Jayden.” Si pemilik nama menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Sifat sepupunya ini memang tidak pernah berubah sejak dulu.

“Kau sudah tau tentang berita hari ini?” Jayden duduk di salah satu kursi lalu menyilangkan kakinya. Sambil memegang koran ditangannya, ia menatap Marvin dengan tenang.

“Soal pembunuhan itu? Satu kota membicarakannya, tidak mungkin aku tidak tahu perkara soal itu.” Jujur saja, bahan pembicaraan warga yang itu-itu saja membuat Marvin bosan. Entah di cafe, toko, maupun jalanan. Semua orang membicarakan berita mengenai penemuan jasad yang membuat seisi kota gempar.

“Sepertinya kau kelewatan satu hal.” Si yang lebih tua berdiri, ia berjalan dan berhenti tepat di hadapan Si Leo. Tangannya menyodorkan koran pagi yang tadi ia baca, membuat Marvin lantas mengambil lembaran kertas tersebut lalu membacanya.

Dahinya mengerut, melihat berita yang Jayden berikan membuat Marvin lantas menegakan kepalanya, ia menatap Si Aquarius seolah meminta penjelasan.

“Mereka kembali, dan sepertinya mereka adalah dalang dari semua ini,” ucap Jayden dengan nada serius. “Mereka tampak lebih berani kali ini, Marvin. Jika mereka lebih nekat dari sebelumnya, kita tidak ada pilihan selain melawan.”

Si Leo meletakan koran itu di sampingnya dengan kasar. Lagi dan lagi ia harus berhadapan dengan mereka yang mengancam identitas para makhluk penghisap darah yang sejenis dengannya.

Sialan, Marvin bersumpah akan menghabisi mereka jika mereka dengan beraninya mengusik ketenangannya.