AESTEREID

Suara pintu yang dibuka membuat seorang hybird berekor singa yang mendengarnya langsung mengintip dari arah dinding kamar. Mata hybird itu seketika berbinar kala mengetahui orang yang sangat ia tunggu akhirnya datang.

“Injun!” Hybird singa itu lantas berlari cepat kearah Renjun sambil merentangkan kedua tangannya. Ia menubruk tubuh si mungil hingga ia hampir terjatuh kebelakang.

“Mark!” ucap Renjun ketika ia hampir terjatuh. Senyum dibibirnya merekah, tangannya lantas direntangkan untuk membalas pelukan hybird yang berukuran lebih besar darinya. Tangannya mengusap lembut kepala hybird itu memberi kehangatan yang ia salurkan, menciptakan geraman rendah seperti kucing dari sang empu.

“Aku merindukan mu,” ucap Hybird bernama Mark itu. Bibirnya ia kerucutkan, pelukannya kepada si mungil ia eratkan. Ia sangat merindukan orang yang merawatnya ini.

Sudah jarang sekali mereka saling berpelukan seperti ini. Perkerjaan Renjun yang banyak membuat lelaki itu tidak bisa berlama-lama bersama teman kesayangannya.

“Aku juga merindukan mu,” ujar Renjun tanpa menghentikan usapannya. “Aku membawakan makanan kesukaan mu! Ayo makan bersama!”

Mark menolehkan kepalanya kearah Renjun lalu tersenyum senang. Ia sangat antusias karena Renjun membawa makanan kesukaannya.

“Ayo! Ayo! Ayo!!”

“Mark!” Renjun terkejut saat Mark dengan mudah mengangkat tubuhnya dan menggendongnya. Posisi mereka saat ini adalah Mark menggendong Renjun dengan posisi seperti koala.

Renjun tersenyum lalu menyenderkan kepalanya di dada bidang Mark. Beban pekerjaannya seketika menghilang. Seolah masalah dan bebannya menguap ke udara dan menghilang begitu saja.

Ia merasa sangat senang akan kehadiran Mark dihidupnya.

Mark bejalan membawa Renjun kearah dapur dan mendudukannya diatas meja makan. Renjun lantas melepas plastik dan tas yang ia bawa di kedua tangannya.

Tangan putih dan mulus itu mengusap rambut Mark saat hybird itu menyenderkan kepala di dadanya dan memeluk tubuh Renjun erat. Mendusal didada Renjun untuk merasakan kehangatan yang sudah agak lama tidak ia rasakan.

“Kau sangat merindukan ku?” tanya Renjun ketika melihat gelagat sang singa yang begitu manja padanya.

“Sangat,” ucap Mark sambil terus mendusal. “Kau kemana saja?” tanyanya.

“Aku sibuk sekali saat itu. Tapi sekarang aku disini! Aku bisa bermain lagi dengan mu.” Tangan itu terus mengusap rambut berwarna coklat milik Mark. Ia tersenyum lalu mengecup puncak kepala Mark, mencium harum wangi dari shampoo yang hybird itu gunakan.

Cukup lama posisi mereka berlangsung seperti ini. Mark yang tidak ingin melepaskan pelukannya dan Renjun yang terus mengusap lembut rambut coklat Mark membuat mereka merasa nyaman dan ingin berlama-lama diposisi seperti itu.

“Kau sudah lapar? Kita harus makan sebelum makanannya dingin,” ucap Renjun kepada Mark yang masih memeluknya.

“Tapi aku masih mau memeluk mu.” Argh, jantung Renjun sudah tidak lagi dapat dikondisikan. Hybird ini selalu membuat jantungnya berdetak gila-gilaan. Membuat kupu-kupu beterbangan di area perutnya.

“Kau bisa memeluk ku saat makan,” ucap Renjun sambil tersenyum.

“Bolehkah?” Mark mengarahkan wajahnya kearah Renjun. Senyum cerah terlihat diwajah hybird itu. Ekornya bergoyang senang. Telinganya tampak bergerak lucu membuat Renjun ingin sekali mencubitnya.

“Boleh, Mark.”

“YEAYY! AYOO!” ucap Hybird itu senang.

Renjun terkekeh melihat tingkah menggemaskan dari teman yang selama ini menemaninya di rumah. Renjun turun dari meja setelah Mark melepaskan pelukannya dan berjalan menyiapkan makanan yang akan dihidangkan.

Steak setengah matang. Makanan favorit Mark, hybird kesayangannya. Renjun memotong-motong daging sapi itu terlebih dahulu agar Mark mudah memakannya.

Setelah itu selesai, Renjun segera berjalan menuju meja makan dan menaruh steam itu dihadapan Mark.

“Ayo!” ucap Mark tiba-tiba.

“Ayo kemana?” tanya Renjun bingung dengan maksud Mark.

“Ke pangkuan ku! Katanya aku boleh makan sambil memeluk mu!” Oh astaga, hybird ini memang ingin membuat jantung Renjun berdegup cepat.

Ya tuhan, kuatkan hati ku, batin Renjun sambil menelan ludahnya.

“Ayo! Tunggu apalagi?” Tak disangka-sangka Mark menarik pinggang Renjun yang membuat si mungil jatuh ke pelukannya.

Renjun mau tak mau akhirnya duduk dipangkuan Mark yang dimana posisinya menghadap langsung kearah dada hybird singa itu.

Satu suapan daging steak ia lahap lalu ia memeluk Renjun dengan erat.

“Aku menyayangi mu! Mark sayang Injuniee!” ucap Mark seperti anak kecil yang membuat Renjun gemas.

“Injunie juga sayang Mark!” ucap Renjun sambil tersenyum.

Renjun sangat beruntung dapat memiliki Mark. Ia yang awalnya merasa kesepian menjadi terasa lebih hidup karena Mark yang hadir dihidupnya.

“Aku menyayangimu, Mark,” ucap Renjun pelan sambil tersenyum dan memeluk sesosok yang membuat hidupnya lebih berwarna dibanding sebelumnya.

• AESTEREID

tw// mention of knife, blood, dan kekerasan

Langkah kaki terdengar. Renjun yang sudah sadar berusaha melepaskan rantai sialan yang menjerat tangannya. Tubuhnya lemas, ia tak lagi bertenaga untuk melawan.

Jika ia melawan ia akan selalu dihukum. Mendapat hukuman perih yaitu pukulan ataupun cambukan. Renjun menangis. Ia ingin keluar dari neraka ini.

“Kau sudah bangun sayang?” ujar seseorang yang membuat Renjun melihat kearahnya. Renjun menatap orang itu takut. Tidak, ia tidak ingin dipukul lagi.

“Tolong, ku mohon lepaskan aku,” ucap Renjun lirih. Air matanya sudah berkumpul dan tinggal menunggunya jatuh. Lebih baik ia kesepian dibanding harus menjalani hidup seperti ini.

Dikurung dan diperlakukan layaknya seekor burung yang disangkar dan dijaga dengan 'aman' dan akan terus dimasukan kedalam sangkar jika ia mencoba untuk bebas.

“TOLONG KU MOHON!” Kesedihannya tak bisa ia bendung lagi. Lelaki manis itu terisak. Menangisi kehidupannya yang gelap dan makin kelam. Berusaha untuk menyusun kembali hidupnya namun takdir memporak-porandakannya.

“Kenapa kau menangis sayang?” Mark mencengkram dagu Renjun den mengarahkan kepala itu untuk menghadap kearahnya. Membuat Renjun mau tak mau harus melihat orang yang selalu membuat dirinya terasa hancur.

“Aku tidak akan melepaskan mu. Kau milik ku. Aku tidak boleh pergi dari ku,” ucap Mark sambil menatap dalam manik indah itu.

“Kau hanya obsesi, Mark! Kau tidak bisa terus membiarkan ku seperti ini! Aku membenci mu! Dasar orang tidak waras! Kau gila!” Dengan berani Renjun menyatakan apa yang selama ini ia rasakan.

Meski tau konsekuensi yang akan ia dapatkan.

“Aku tidak mau,” ucap Mark final. “Kau milik ku dan terus menjadi milik ku! Tak akan ku biarkan kau pergi!”

“KAU MILIKKU HUANG RENJUN! TIDAKKAH KAU MENGERTI SIALAN?!”

Bentakan Mark membuat badan pemuda manis itu bergetar. Matanya melotot ketika Mark mengeluarkan pisau kecil dari arah sakunya.

“TIDAK! KU MOHON! JANGAN!” teriak Renjun ketika pisau itu terarah ke tangannya yang dirantai.

“Aku gila karena mu, Huang. Kau membuat ku jatuh cinta pada mu.” Mark mulai menekan pisau itu kearah telapak tangan Renjun menciptakan luka sayatan panjang di telapak tangan yang putih dan mulus itu.

Renjun meringis kesakitan. Karena luka yang terbentang panjang itu membuat darah dari telapak tangannya bercucuran. Darah itu mulai menetes kebawah dan menciptakan sedikit genangan.

“Tangan ini. Tangan ini akan ku potong jika kau mencoba untuk kabur, Huang.” Pisau itu ia turunkan. Mengarah pada pergelangan kaki mungkin tak lagi mulus setelah ini.

Lelaki itu mulai menusuk pergelangan kaki itu dengan perlahan-lahan sampai lukanya mulai dalam.

“Aku akan memotong kaki mu, jika kau mencoba lari dari ku, sayang. Aku melalukan ini karena aku mencintaimu. Aku hanya tidak ingin kau kabur, kasih ku.”

Renjun terisak ketika mendengar perkataan Mark. Ia tidak bisa lagi kabur dari neraka yang sungguh menyiksakan. Si manis itu menghiraukan rasa sakit dari luka tangan dan kakinya. Yang ia pikirkan adalah keinginannya untuk bebas dari neraka ini.

Melihat Renjun yang menangis membuat Mark melepaskan pisaunya dan melemparnya sembarangan.

Pria kelahiran bulan agustus itu merentangkan tangan dan memeluk pujaan hatinya. Memberikan usapan penenang di kepala dan punggungnya yang malah membuat sang empunya makin menangis.

“Jangan menangis, sayang. Maafkan aku.” Mark terus menggumamkan kata penenang. Sembari memberi usapan lembut, Mark terus menerus menenangkan sang lelaki kelahiran maret.

Renjun merasa pusing. Tangisannya mulai berhenti. Darah terus menerus menetes dari telapak tangan dan pergelangan kakinya. Pria manis itu memejamkan mata. Membuat semuanya menjadi gelap seketika. Ia pingsan dan berharap ia tidak bangun lagi.

Merasa Renjun tertidur. Mark melepas kedua rantai yang mengikat tangan mungil itu. Tidak peduli pakaiannya yang kotor akan darah. Pria bertubuh tegap itu menggendong dan mengusap-usap punggung sang pujaan.

“Tidurlah sayang ku, aku akan terus menjagamu dan mengasihimu. Aku akan terus mencintaimu sampai kapan pun. Meski sampai jantung ini tak lagi berdetak,” bisik Mark tepat ditelinga pemuda manis yang tengah pingsan itu.

• AESTEREID

Renjun terdiam dikelas. Wajahnya sedikit pucat. Kata demi kata yang berada di kertas bertinta merah itu terngiang-ngiang di kepalanya.

Bahkan jika ada masanya kamu pergi Kamu menghilang Kamu tak lagi hadir Jika itu benar terjadi Aku lebih memilih untuk mati

Bait itu berhasil membuat pemuda riang seperti Renjun merinding. Lelaki itu tidak mengatakan sepatah kata pun saat pelajaran berlangsung. Ia hanya diam, pikirannya sudah menguap entah kemana.

“Renjun?!” seruan itu berhasil membuyarkan lamunan si manis. Ia lantas menolehkan kepala ke sahabatnya yang tadi berusaha memanggil-manggil namanya.

“Renjun, kau tidak apa? Kau terlihat pucat,” ujar Yang-Yang penuh kekhawatiran. Ia memperhatikan Renjun sedari tadi, sahabatnya tidak berperilaku seperti biasanya.

“Aku tidak apa Yang-Yang.” Yang-Yang memicingkan matanya. Menatap curiga Renjun yang berusaha mengontrol raut wajahnya.

“Serius? Kau tampak-”

“Aku lapar, kau mau ikut ke kantin?” Renjun bangkit dari tempat duduknya dan tersenyum menghadap sang sahabat. Lelaki manis itu berhasil memotong ucapan Yang-Yang dan mengalihkan topik pembicaraan.

“Baiklah, aku ikut dengan mu,' ucap Yang-Yang. Meski begitu, Lelaki kelahiran bulan Oktober itu tetap merasa ada yang aneh dengan sahabatnya ini.

Selama perjalanan menuju kantin, Yang-Yang terus menatap penuh curiga kepada Renjun.

Renjun tau apa yang ada dipikiran sahabat karibnya. Namun ia tetap mencoba untuk mengontrol raut wajahnya meski dalam hati Renjun ingin sekali berlari rasanya.

“Renjun!” teriakan itu membuat keduanya menoleh. Terlihat Jeno sedang melambai-lambaikan tangannya kearah mereka dengan seorang lelaki duduk disampingnya.

Renjun dan Yang-Yang lantas melangkahkan kaki menuju dua lelaki yang duduk dipojok kantin.

“Duduklah disini.” Jeno berucap.

Keduanya langsung duduk ditempat yang disediakan. Posis mereka saat ini, Yang-Yang duduk berhadapan dengan Jeno sementara Renjun duduk dengan seseorang yang familiar namun ia tidak mengetahui namanya.

“Ini Mark, ketua osis sekolah kita.” Seolah tau apa yang dipikiran Renjun, Jeno langsung mengenalkan pria disampingnya.

“Hai, salam kenal.” Mark mengulurkan tangannya, menjabat tangan kedua lelaki manis yang berada dihadapannya ini.

“Aku Renjun, dan disamping ku ini Yang-Yang. Salam kenal,” ujar Renjun sambil melirik Yang-Yang yang menatap tajam kearah Mark.

“Hei.” Renjun menyenggol lengan Yang-Yang yang masih menatap tajam Mark. Lelaki itu seketika tersadar dan berkata. “Salam kenal, Mark.”

Mark tersenyum kearah keduanya. Menghiraukan tatapan tajam dan sinis yang Yang-Yang torehkan padanya.

“Kalian tidak makan?” tanyanya memulai percakapan.

“Tidak.” Sebelum Renjun berucap, Yang-Yang lebih dulu menjawab dengan jawaban singkat dan cuek.

“Yang-Yang!” tegur Renjun sedikit berbisik. Yang-Yang memutar kedua bola matanya. Merasa malas dengan keberadaan orang yang duduk berhadapan dengan sahabatnya.

Mark terkekeh, ia peka dengan apa yang sedang terjadi.

Masih dengan wajah ramah, Mark berusaha mencairkan suasana yang agak canggung dimeja kantin ini.

“Apa kalian mengikuti ekskul?” tanyanya dengan senyum ramah.

“Tidak.”

“Aku ikut, ekskul melukis.” Renjun tersenyum, ia berusaha menutupi sifat sahabatnya yang dingin terhadap perkataan Mark.

“Bagus. Apakah kau akan mengikuti lomba melukis, Renjun?”

“Maksudmu?” tanya Yang-Yang tiba-tiba.

“Kalian tidak tau sekolah kita akan mengadakan perlombaan?” tanya Jeno yang dijawab gelengan dari kedua pemuda manis itu.

“Sepertinya wali kelas belum memberi tahu mereka, Jeno,” ujar Mark

“Jadi, karena ujian sekolah sudah selesai maka OSIS akan mengadakan lomba untuk mengisi waktu luang kalian. Lombanya terdiri dari melukis, basket, pidato, sampai futsal.”

“Futsal?” tanya Yang-Yang dengan mata berbinar. Ia sepertinya tertarik dengan topik ini.

Jika membahas olahraga yang berciri khas menendang bola maka Yang-Yang akan maju paling depan.

Karena sang pujaan hati mengikuti kegiatan itu

“Yap, Akan banyak peserta yang mengikuti lomba itu. Dan sepertinya Hwang Hyunjin dan Na Jaemin akan menjadi kapten lagi.”

“Na Jaemin?!” Mendengar perkataan Mark membuat Yang-Yang bersemangat. Pemuda itu tanpa sadar jatuh kedalam rencana yang sudah pria itu susun sedemikian rupa.

“Betul sekali!” ujar Mark.

Mereka berempat saling mengobrol. Topik yang mereka obrolkan bermacam-macam tapi mereka lebih sering membahas Na Jaemin, si bintang futsal.

Tidak sih, hanya Yang-Yang yang berceloteh tentang pemuda yang ia sukai itu. Renjun dan Jeno sudah bosan karena Yang-Yang terus-terusan berucap Na Jaemin, Na Jaemin, dan Na Jaemin.

Tapi Mark masih setia mendengarkan omongan Yang-Yang, bahkan pria itu dengan ramah menanggapi apa yang lelaki kelahiran oktober itu ucapkan.

“Aku tidak menyangka Mark akan sebaik itu,” ujar Yang-Yang ketika memasuki kelas.

Jam istirahat sudah berakhir dan mereka mengobrol sudah lebih dari dua jam.

Para murid sudah terlihat memasuki kelas masing-masing untuk bersiap dengan pelajaran berikutnya.

“Dia memang orang baik, kenapa kau awalnya menatap tajam kearahnya?” tanya Renjun setelah duduk dikursinya.

Yang-Yang menyengir lalu mengusap tengkuknya yang tidak gatal. “Aku pikir dia adalah orang yang jahat, aku merasa agak tidak enak ketika berdekatan dengannya.”

Renjun menggeleng-gelengkan kepalanya. “Jangan menilai orang dari tampangnya, Yang-Yang.”

“Iya, maafkan aku.”

Guru pelajaran berikutnya akhirnya masuk kedalam kelas. Sepanjang guru menjelaskan, tidak ada satu pun pelajaran yang masuk ke otak lelaki kelahiran maret.

Lelaki itu sibuk memikirkan Mark.

Lebih tepatnya, sesuatu yang terjadi dengan Mark


Flashback

“Kenapa tangan mu diperban, Mark?” Renjun menatap kearah lengan Mark yang dibaluti perban yang lumayan panjang.

Mark yang berbicara kepada Yang-Yang lantas menolehkan kepalanya kearah Renjun.

“Ah ini? Kucing peliharaan ku mencakar ku saat aku memandikannya. Lukanya berbekas.” Lelaki kelahiran agustus itu melihat kearah tangannya yang dibalut perban dan beralih pada Renjun yang kini menatapnya.

Ia tersenyum dan berkata. “Kucing ku terkadang memang nakal.”

“Kau memiliki kucing dirumah?” tanya Yang-Yang yang mendengar ucapan Mark.

“Iya, aku memilikinya. Dia kucing yang sangat manis,” ucap Mark tanpa melunturkan senyum diwajahnya. “Tadi kita berbicara sampai mana?”

“AHH! Itu, Kau tau Na Jaemin si kapten futsal kan? Aku dengar dia memiliki rumor bahwa ia memiliki kekasih dari sekolah sebelah. Apa itu benar?”

“Tidak, ia tidak memiliki kekasih. Rumor itu hanya bohongan. Na Jaemin orang yang malas menjalin hubungan,” jawab Mark ramah yang mengaku dekat dengan si kapten futsal disekolah ini.

Yang-Yang, Jeno dan Mark sibuk mengobrol sementara Renjun hanya diam sedari tadi, ia tidak terlalu tertarik dengan topik obrolan mereka yang mereka bicarakan.

Sesekali matanya melirik kearah lengan Mark yang terbalut perban putih. Firasat merasa agak tidak nyaman ketika melihat lengan yang sedikit berurat itu.

Seperti ada sesuatu yang aneh.

• AESTEREID

“Kau ingin pulang sekarang?” tanya seorang pria berkulit tan ketika melihat temannya sedang memberes-bereskan meja kantornya.

Lelaki yang ditanya lantas menoleh dan menganggukan kepalanya. Terlihat wajah pria itu tampak lelah, kantung matanya mulai terlihat, rambutnya sudah acak, dan pakaian kantornya yang tidak serapi saat pagi.

Donghyuck memperhatikan Mark yang sedang bersiap-siap untuk pulang. Pria kelahiran agustus itu tidak tampak seperti biasa. Badannya yang lesu, wajah yang kusam, serta hilangnya hawa riang membuat pria bermarga Lee itu tampak tidak memiliki gairah untuk hidup.

Donghyuck menghela napas, ia merasa ada yang tidak beres dengan sahabatnya. Ia mengerti sekali tabiat pria itu, mereka sudah berteman semenjak masa putih abu-abu.

Mereka sudah seperti memiliki ikatan batin. Mereka tumbuh bersama dan melangkahkan kaki beriringan meski kadang ada kalanya mereka terjatuh, namun mereka tetap berusaha untuk bangkit bersama.

Donghyuck terdiam, kini ia memperhatikan Mark yang memakai jaket parasut dari arah tempat duduknya. Bibirnya akhirnya bergerak, mengatakan ucapan yang berhasil membuat pria berzodiak leo itu menghentikan kegiatannya.

“Kau memikirkannya?” Mark terdiam. Ucapan sahabatnya seolah membius segala pegerakannya. Membuat tubuhnya membeku dan mati rasa sejenak. Mark menghela napas lalu melanjutkan lagi kegiatannya membereskan barang-barang.

Donghyuck menarik napas. Dugaannya tepat. Pria ini masih memikirkan sang pujaan hati.

“Aku yakin kau masih menyayanginya, Mark. Kembali lah padanya, aku yakin sekali pasti perasaannya tidak berubah,” ujar Donghyuck meyakinkan. Ia yakin, benar-benar yakin jika kedua insan ini masih saling mencintai. Ia tidak pernah melihat Mark berpaling dari seseorang yang selama ini ia cintai.

Meski semenjak kejadian yang berhasil meluruh lantahkan seluruh hidupnya.

“Bagaimana bisa ia kembali jika ia sudah memiliki seseorang dihidupnya?” Donghyuck terdiam. Ia adalah saksi kisah dua insan yang saling mencintai satu sama lain, meski kisah ini berakhir dengan sedih.

“Aku duluan, Hyuck,” pamit Mark sebelum melangkahkan kakinya pergi dari ruangan tempatnya berkerja. Donghyuck lagi-lagi menghela napasnya.

Sepertinya akan ada yang bernostalgia hari ini.


Mark mengedarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Ia tidak ingin terlalu cepat pulang dan melewatkan pemandangan indah dari malam yang tampaknya ingin membuatnya mengingat kenangan manis yang sempat membuatnya bahagia.

Si leo itu sesekali menatap kearah jendela mobil. Melihat betapa indahnya bangunan-bangunan yang berdiri megah dan memancarkan sinar terangnya.

Pria itu mengeratkan cengkramannya pada stir mobil. Rahang lelaki itu mengeras. Pikirannya melayang entah kemana.

Mendadak Mark menekan pedal gas dan berbelok kearah jalan yang bukan menuju rumahnya.

Jalan yang mengarah, ke tempat dimana pertama kali kisah cintanya bermula.


Ban mobil itu terus berputar. Berjalan kearah tempat tujuan dimana sang empu ingin bernostalgia.

Mengingat momen dimana hatinya mulai bermekaran. Menciptakan rasa seperti kupu-kupu berterbangan bebas diperut.

Mobil itu berjalan dijalanan yang sepi kendaraan dan berhenti tepat didekat sebuah halthe bus yang sepi dan sedikit gelap. Tidak ada orang di halthe bus itu.

Meski terlihat sudah tua namun tempat pemberhentian bus itu masih terawat dengan baik.

Mark membuka pintu mobilnya dan keluar dari kendaraan beroda empat miliknya. Dirinya membiarkan kakinya berjalan pelan ke tempat dimana bus biasa berhenti untuk mengangkut penumpangnya.

Ia berdiri dihadapan kursi yang tersedia dihalthe itu. Kemudian mengulurkan tangannya, mengusap bangku yang pernah menjadi saksi bisu kisah mereka dimulai.

Dengan perlahan Mark mendudukan dirinya diatas kursi tersebut lalu menyenderkan kepalanya didinding halthe. Pria itu menghela napas pelan lalu memejamkan matanya. Merasakan euphoria yang masih melekat kuat ditempat itu.

Tempat pertama kali ia bertemu pujaan hatinya. Tempat awal pertama kali kisahnya bermula. Dan tempat, yang menjadi saksi bisu berakhirnya kisah cinta mereka.

“Aku merindukanmu.” Mark membuka matanya perlahan. Menahan air mata yang mungkin bisa jatuh kapan saja. Pria itu mencengkram erat pinggran kursi. Melampiaskan rasa rindu yang selama ini ia pendam satu tahun belakangan ini.

“Aku masih mengingat tempat ini. Apa kau juga masih ingat, Renjun?” tanya Mark seolah-olah akan ada yang menjawab pertanyaan rindunya.

“Aku merindukanmu. Aku harap kau bisa kembali bersama ku.” Mark menghela napasnya. Ia berusaha mengeluarkan isi kesedihan hatinya, membuatnya merasa lega meski sekarang terasa seperti ada sebuah pisau yang menyayat hatinya.

“Aku mencintaimu, Renjun. Selalu mencintaimu,” ucapnya yang hanya dibalas oleh sunyinya malam.

Kedua insan yang itu masih saling mencintai meski dunia tak merestui. Mereka sudah berusaha melawan namun sepertinya dunia terlalu bercanda untuk mereka yang serius.

Dan pada akhirnya mereka saling mencari kebahagiaan, meski harus melepas genggaman satu sama lain.


Flashback

“Kenapa kau sendirian disini?” Tanya Mark yang membuat seorang pemuda mungil menoleh kearahnya. Pemuda itu tampak sedikit terkejut dengan kehadiran pria bermarga Lee itu. Bagaimana tidak? Pria ini tiba-tiba muncul dimalam yang sepi ini.

“Ah, aku? Aku sedang menunggu bus lewat,” jawab Renjun disertai dengan senyuman.

“Pulanglah dengan ku. Aku akan mengantarmu sampai rumah. Bus terakhir akan lama datang.” Mark menawarkan pemuda mungil itu untuk pulang bersamanya. Hari sudah larut dan jalanan sekarang sepi, apa pemuda manis ini tidak takut akan sesuatu buruk yang mungkin terjadi?

“Tidak, tidak perlu. Kau bisa pulang duluan. Aku akan menunggu bus datang.”

“Tidak apa-apa pulanglah bersama ku. Kau Huang Renjun dari fakultas psikolog 'kan? Besok kau akan ada kelas pagi. Jika kau menunggu bus terakhir kau akan terlambat!” Bukannya menanggapi serius omongan Mark, pemuda bermarga Huang itu malah terkekeh kecil saat mendengar perkataan Mark yang panjang seperti rel kereta.

“Hahaha, kau ternyata cerewet.” Mark diam, ia terpana ketika melihat tawa Renjun. Tawanya tampak manis dan tanpa sadar Mark ikut tersenyum melihatnya.

“Baiklah, aku akan pulang bersama mu. Oh ya, nama mu siapa? Aku belum berkenalan dengan mu,” tanya Renjun.

“Minhyung. Lee Minhyung. Atau kau bisa menanggil ku Mark,” jawab Mark tanpa melunturkan senyum diwajahnya.

“Baiklah, Mark.” Renjun turun dari kursi yang ia duduki dan berjalan kearah mobil hitam milik Mark. Mark membukakan pintu kursi penumpang untuk Renjun. Renjun masuk kedalam mobil itu dan disusul oleh Mark.

Mobil itu menyala dan berjalan. Meninggalkan pemberhentian bus yang menjadi saksi bisu awal kisah mereka bermula.

• AESTEREID

tw// mention of bullying

“Dasar miskin! Matilah bersama kedua orang tua mu!” Perkataan menyakitkan dan gelak tawa merendahkan mereka keluarkan untuk anak berkaca mata tak berdosa yang mereka rundungkan.

Membuat anak lelaki itu merasa terpojok, terjatuh, bahkan berpikir untuk mengakhiri segalanya dan ikut mati menyusul kedua orang tuanya yang meninggalkannya sebatang kara di dunia yang penuh kekejaman ini.

Lelaki itu menunduk dan mengepalkan kedua tangannya. Ia sudah terbiasa seperti ini, direndahkan, dimaki, dijadikan sebagai pembantu untuk berbuat ini itu. Itu semua adalah makanan sehari-hari pemuda malang bernama Lee Minhyung ini.

Pemuda malang yang ditinggalkan sebatang kara untuk bertahan hidup di dunia yang fana nan kejam, dipaksa untuk terus bertahan meski dinding pertahanannya mulai goyah dan hancur. Dunia terlalu kejam untuk orang bernasib malang seperti Minhyung.

“Hey kutu buku! Kerjakan pekerjaan ini untuk ku.” Buku terlempar dengan sangat tidak sopan ke kepala pemuda itu. Gelak tawa lagi-lagi terdengar. Tawa remeh yang sangat merendahkan pemuda bermarga Lee tersebut.

“Ambil buku ku bodoh!” Pemuda yang melempar buku tadi menatap Minhyung yang masih bergeming tak bergerak, ia hanya diam dan tidak menggubris perkataan lelaki itu.

“Ku bilang ambil sialan! Kau tuli?!” Melihat Minhyung yang tak kunjung bergerak membuat pemuda itu geram dan lantas turun dari meja yang ia duduki dan mendorong kasar Minhyung hingga lelaki itu terjatuh dari kursinya.

“Kau tuli hah?! Dasar Miskin! Sudah tuli tidak mau mendengar perkataan orang!” Pemuda itu mencengkram erat kerah Minhyung hingga lelaki kelahiran agustus itu kesulitan bernapas.

Bukannya meleraikan kedua pemuda yang sedang bertengkar itu, murid lain hanya menyaksikan keduanya. Tidak ada sedikit pun dari mereka yang berniat untuk membantu Minhyung yang sekarang kesulitan bernapas. Mereka takut berurusan dengan Lee Jeno, seorang anak yang berasal dari seorang pengusaha kaya yang memiliki banyak kekuasaan disekolah ini bersama dengan kawannya yang juga memiliki kuasa diatas mereka.

“Kau ingin ku hajar, sialan?!” teriak lantang pemuda itu sampai urat dilehernya mulai terlihat.

“Hajar saja dia Jeno! Dia pantas mendapatkan itu!” ujar Hyunjin menyemangati Jeno agar menghajar Minhyung habis-habisan.

“Jangan lakukan itu Jeno, kasihan dirinya. Ia pasti tidak akan memiliki biaya untuk mengobati lukanya.” Sungchan tersenyum sambil memandang rendah Minhyung yang masih berada di cengkraman si Lee itu.

Ketiganya lantas tertawa dan Jeno melepaskan cengkramannya pada kerah baju seragam Minhyung. “Aku tidak akan mengajar mu hari ini, Lee. Jika kau ku hajar, maka kau tidak akan lagi bisa menjadi budak ku, hahahaha.”

Dengan naif nya semua orang dikelas itu tertawa, menertawakan kemalangan pemuda Lee atas nasib sialnya yang selalu saja melingkupi dirinya. Minhyung tidak bisa berbuat apa-apa, jika ia melawan dan membuat masalah maka beasiswa yang ia perjuangkan mati-matian bisa dicabut dan masa depan yang ia susun sedemikian rupa hancur melebur.

Dia hanya diam ketika tawa dan tatapan merendahkan ditorehkan untuknya. Remehan dan celaan sudah menjadi hal yang biasa baginya. Ia tidak bisa melawan mereka yang memang kedudukannya jauh diatas dirinya yang rendah.

“DASAR KAU BAJINGAN LEE JENO!” Semua orang mendadak terdiam ketika suara makian itu menggema di ruang tempat mereka belajar.

Tatapan mereka semua mengarah pada pemuda mungil yang dengan beraninya melantangkan makian khusus untuk seorang Lee Jeno, sang penguasa tertinggi sekolah.

“Apa yang kau bilang?!” Tak terima dengan makian itu, sontak Jeno menatap tajam pemuda yang kini membalas tatapannya dengan berani. Tatapan mematikan mereka saling beradu, suasana kelas menjadi tegang karena kedua kubu terlihat sangat sengit dan tidak mau mengalah.

“Kau bajingan Lee Jeno! Bisa-bisanya kau merundung siswa tak bersalah!” Dengan beraninya siswa itu meneriaki isi hatinya. Tidak peduli dengan nasib yang akan ia terima, yang terpenting adalah ia bisa membela kebenaran di sekolah penuh kebusukan ini.

“Siapa kau mengatur ku, Huang?” ucap Jeno penuh penekanan. Tatapan tajam nan mengerikan ia berikan untuk pemuda mungil bernama Huang Renjun, pemuda yang dengan beraninya menantang si bertahta tertinggi sekolah.

“Dasar tidak tau aturan! Aku akan melaporkan mu pada pihak sekolah.” Si mungil sudah geram, kesabarannya melihat tingkah brengsek Lee Jeno sudah habis. Dan kini ia bernekat untuk menantangnya meski tau kosekuensi besar yang akan ia dapatkan.

“Cih, kau ingin bernasib sama seperti pecundang ini?” Jeno melirik Minhyung masih belum beranjak bangun. Pemuda itu masih jatuh terbaring sambil memandangi pemuda huang yang membelanya dengan berani.

“Sepertinya kau cocok dengan si Lee ini.” Jeno menendang dengan keras tulang kering lelaki itu hingga ia mengerang kesakitan.

Jeno dan kedua temannya kemudian tertawa, melihat Minhyung yang tertindas adalah kesenangan duniawi bagi mereka. Mereka puas dengan perbuatan bejat dan semena-mena yang mereka lakukan kepada pemuda tak bersalah yang mereka jadikan sebagai ajang perundungan.

“Kau beruntung hari ini, Lee. Berterimakasihlah pada kekasih mu karenanya aku tidak jadi menghajarmu hari ini.” Si penguasa dan temannya dengan santainya berjalan keluar sambil tersenyum puas.

Sebelum keluar kelas, pemuda kelahiran april itu menyenggol bahu si maret sambil berucap. “Awas kau, Huang.”

Renjun mengepalkan kedua tangannya. Ia sudah muak dengan kebusukan yang berada disekolah ini. Pemuda mungil itu lantas memasuki kelas dengan cepat dan menghampiri Minhyung yang sedang berusaha bangkit.

“Kau tak apa? Apa mereka menyakitimu?” tanya si manis sambil membantu Minhyung untuk bangun. “Aku tidak apa. Terimakasih sudah membantu ku.”

Renjun tersenyum lalu membantu Minhyung membersihkan pakaiannya yang sedikit kotor karena terjatuh dilantai yang kurang bersih.

“Jika si bajingan itu berbuat macam-macam melawan saja, Lee. Kau tidak bisa hanya diam jika bajingan itu merendahkan mu.” Minhyung mengusap tengkuknya.

Ia berharap ia bisa melawan si brengsek Lee tapi entah mengapa ia belum punya cukup nyali untuk melawan. Ia merasa bahwa seseorang yang berada dibawah sepertinya tidak akan sanggup menentang si tahta paling atas.

Bell sekolah berbunyi, pelajaran pertama akan segera dimulai. Si pemuda huang itu lantas melihat kearah jam dinding. Guru pelajaran pertamanya akan segara datang.

Renjun menoleh kearah Minhyung dan tersenyum memandangi pria itu dan entah mengapa membuat degup jantung Minhyung berdegup kencang ketika pemuda itu memberikan senyuman manis kepadanya.

“Pelajaran pertama akan dimulai, aku pergi dulu. Ingat kata ku, Minhyung. Jika mereka menindas mu lawan saja.” Setelah berpamitan, Renjun melangkahkan kakinya keluar kelas dan berjalan menuju kelasnya.

Meninggalkan Minhyung yang masih terpana. Senyum merekah diwajahnya, ia bersyukur sekali pada tuhan bahwa ada seseorang yang mengulurkan tangannya, untuk membantunya naik dari jurang meski mungkin hanya satu langkah.

Terimakasih, tuhan. Kau mendatangkan matahari untuk ku, batin Minhyung tanpa melunturkan senyumnya.

• AESTEREID

Raska berjalan cepat menuju gang gelap tadi. Ia menggenggam erat pisau tajam ditangannya. Bersiap melakukan tindakan pikiran gilanya.

aku harus membunuhnya, dia membahayakan batin Raska berusaha meyakinkan bahwa apa yang akan ia lakukan adalah tindakan yang benar.

Tanpa pikir panjang, lelaki itu berjalan masuk menuju gang dan melangkahkan kakinya dengan berani meski tau apa kosekuensinya.

Jika ia mati setidaknya ia akan membuat vampir itu juga ikut meregang nyawa.

Kakinya melangkah masuk namun sayangnya matanya tidak melihat siapa pun disana. Gang gelap itu kosong dan tidak ada siapapun disana.

“Sialan,” umpatnya. Apa ia terlalu lama pulang? Dimana vampir itu? Kenapa sepi sekali? Kemana perginya dia orang tadi?

Raska mencengkram erat gagang pisau. Rahang lelaki kelahiran maret itu tampak mengeras. Rencananya untuk membunuh vampir sialan itu sepertinya gagal.

Matanya rubahnya terbuka. Instingnya dengan kuat menyuruhnya untuk menghindar ke kiri.

SRASHH

Raska bergerak menghindar ke kiri sesuai instingnya. Tinjuan secepat angin datang dari arah kanan dan beruntung Raska bisa menghindarinya. Matanya melirik kearah tangan yang mengepal disamping wajahnya.

“Insting mu kuat juga ternyata.” Suara familiar itu terdengar jelas ditelinganya. Raska memegang erat pisaunya dan mencoba menghunuskan pisau tajam itu kearah seseorang yang berada disampingnya.

Orang itu menghindar sangat cepat dan berdiri dihadapan Raska. Pria yang sekarang bermata hitam itu melihat si aries yang menatap tajam dirinya.

“Wow, kau mencoba membunuh ku? Kau jahat sekali.” Marvin melirik pisau digenggaman Raska. Sepertinya si manis ini sedang emosi.

“Diam brengsek!” Rahang Raska mengeras. Emosinya bertambah ketika Marvin menatapnya santai seolah-olah ia adalah lawan yang mudah ditaklukkan. Tatapannya seperti tatapan merendahkan dan itu membuat Raska marah.

“Jangan gila, kau tau 'kan siapa diri ku? Sepertinya kau kemarin sangat ketakutan tapi kenapa sekarang-” ucapan Marvin terpotong ketika Raska menendang perutnya dengan kencang membuat pria kelahiran agustus mundur sedikit.

“Diam sialan!” Raska mencoba menghunuskan pisau ke dada Marvin namun pria itu dengan cepat menghindar.

Marvin menggenggam lengan Raska dan memelintir tangannya. Raska yang merasa kesakitan langsung menjatuhkan pisaunya dan berusaha lagi menendang perut Marvin.

Si leo bergerak cepat. Menjauh dan menciptakan jarak antar keduanya.

“Terlepas dari tubuh mungil mu. Ternyata kau lawan yang kuat.” Harus ia akui, si manis dihadapannya ini adalah lawan yang cukup kuat meski ia tidak merasakan sakit akibat tendangannya karena tubuhnya jauh lebih tahan daripada tubuh manusia biasa.

Ia pikir Raska akan langsung lengah dan menyerah melawannya. Namun pria manis ini melakukan sebaliknya, ia terus berusaha menyerang dengan tenaga yang bisa dibilang kuat untuk ukuran manusia.

“Jangan pernah melihat seseorang dari penampilannya, Marvin. Rubah yang terkadang terlihat manis saja bisa dengan ganas menghabisi mangsanya.” Raska mengambil pisau yang tadi terjatuh dan menatap tajam Marvin. Bersiap-siap dengan pertarungan besar yang akan terjadi.

“Kita lihat apakah sang rubah bisa melawan singa yang mengincar mangsanya.” Dengan pergerakannya yang cepat, Marvin menerkam tubuh Raska. Mendorong pria mungil itu hingga membuatnya terjatuh. Raska berusaha menggerakan kepalanya yang tertahan kuat. Tangannya yang bebas dengan cepat menghunuskan pisau itu kearah Marvin.

Marvin yang tadinya meniban tubuh Raksa menghindari pisau itu. Sedikit saja ia lengah, pisau tajam itu bisa tertancap ditubuhnya.

Marvin memutuskan menjauh ketika Raska dengan gila-gilaan menghunus-hunuskan pisaunya.

Si mata rubah itu berdiri dan tersenyum miring menatap Marvin dari kejauhan.

“Sudah ingin menyerah?” ejek Raska. Rahang Marvin mengeras, pertarungan ini tak seperti yang ia kira. Matanya melihat kesana kemari mencoba mencari cara agar bisa mengalahkan si rubah.

Dirinya kemudian tersenyum miring, menampilkan gigi taring tajam miliknya. “Sepertinya kau yang akan menyerah.”

Pemuda leo itu berlari cepat dan menahan tangan Raska. Menepis pisau tajam itu hingga terjatuh dan menendangnya agar menjauh.

Raska menatap Marvin dan memukul wajah pria itu. Serangan demi serangan ia lancarkan hingga akhirnya sebuah tangan memukul kepalanya dengan kencang. Sangat kencang hingga ia pingsan dan terjatuh.

Semuanya mendadak gelap. Pukulan itu terasa seperti sebuah bongkahan batu yang memukul kepalanya. Badannya terasa lemas dan kepalanya pusing. Hingga akhirnya yang ia ingat adalah tubuhnya terasa digendong dan dibawa ke suatu tempat yang tidak ia ketahui.

• AESTEREID

Raska menghela napas dan menaruh pelan ponsel ke sampingnya. Lelaki manis itu menyandarkan punggungnya ke dinding dan membiarkan tubuhnya duduk dilantai yang dingin.

Raska memejamkan mata lalu menekuk kedua kakinya dan memeluk tubuhnya erat. Sembari memberi usapan pelan, si berzodiak aries itu berusaha menenangkan dirinya dari kejadian mengerikan seminggu yang lalu.

Ia tidak berani keluar rumah semenjak kejadian itu bahkan sampai memilih untuk mengerjakan tugas kantor dirumahnya selama seminggu ini.

Peristiwa penuh darah itu berhasil membuat si manis yang galak menjadi ketakutan. Bahkan pria itu tidak bisa tidur nyenyak selama lima hari pasca peristiwa yang merenggut nyawa seseorang.

Raska menarik napas dalam dan mengehembuskannya perlahan. Pria itu bangkit berdiri perlahan dan berjalan kearah kamar mandi.

Ia tidak boleh terus-terus seperti ini. Ia tidak boleh menjadi penakut, ia harus mengubah pola hidupnya. Ia tidak boleh seperti ini terus, ini membuat semua temannya khawatir. Karena

Raska yang tidak keluar selama seminggu membuat teman-temannya mengkhawatirkan keberadaannya. Bahkan sampai dua sahabatnya, Yarga dan Harvian menawarkan untuk menginap dirumahnya atau memberikan makanan tapi Raska menolaknya.

Pria kelahiran maret itu menyenderkan keningnya didinding. Tubuhnya ia biarkan basah karena dingin air dari pancuran. Setelah mengurusi urusannya dikamar mandi. Raska keluar dan bersiap-siap untuk pergi ke supermarket.

Makanan dan keperluan hidupnya sudah hampir habis, ia bisa mati jika tidak membeli barang-barang untuk menunjang hidupnya. Mau tidak mau ia harus berjalan pergi menuju supermarket terdekat.

Raska buru-buru mengambil kunci, ponsel dan dompetnya. Matanya tak sengaja melihat gunting yang berada di atas mejanya. Raska berpikir sejenak.

Apa aku harus membawa itu? batin Raska. Pria itu kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak, ia tidak akan membawa itu. Orang akan ketakutan melihatnya membawa benda tajam seperti itu.

Raska kemudian beranjak pergi dengan cepat meninggalkan rumahnya yang sudah aman terkunci.

Raska berjalan agak cepat menuju supermarket. Hari sudah gelap dan ia tidak mau pulang saat larut karena itu akan terus mengingatkannya akan peristiwa kemarin.

Ngomong-ngomong Raska hidup sendiri di kota ini, ia anak tunggal dan kedua orang tuanya sudah tiada karena peristiwa kecelakaan maut yang merenggut nyawa keduanya.

Saat itu Raska masih berumur sembilan belas tahun dan ia sudah harus berkerja untuk memenuhi semua kebutuhannya, ia tidak bisa terus mengandalkan uang tabungan milik orang tuanya, lambat laun uang tabungan itu akan habis dan dia akan mati muda karena tidak bisa membeli kebutuhannya.

Beruntung tuhan memberikannya teman-teman yang baik sehingga ia bisa cepat bangkit saat masa menyulitkan itu.

Raska terus mempercepat langkah kakinya. Sampai pada akhirnya ia sampai ke tempat yang ia tuju. Lelaki itu membeli barang sesuai kebutuhannya sembari mengecek apakah ada potongan harga untuk barang itu.

Setelah membayar barang yang ia perlukan di kasir. Si manis berjalan menuju rumahnya sambil menenteng dua kantung platik yang cukup berat berisi barang-barang keperluan hidup.

Sekarang jam sembilan malam dan malam semakin larut. Jalanan sudah agak sepi menyisakan keheningan dan suara derap kaki dari si aries yang kini berjalan cepat.

Kakinya terhenti ketika melihat sesuatu yang janggal menurutnya. Lelaki itu tiba-tiba melihat kearah gang sepi yang berada diujung jalan. Kakinya mendadak bergerak menuju arah gang itu, entah mengapa instingnya mengatakan bahwa ia harus melihat situasi di gang sepi nan gelap itu.

Matanya mengintip dibalik tembok berbatu bata. Ia mencengkram erat tas plastik yang ia bawa. Ia melihat pria yang ia kenal bernama Marvin sedang mengobrol dengan seseorang. Entahlah ia tidak tau siapa orang itu, yang pasti pembicaraan keduanya tampak serius.

Matanya menatap tajam kearah Marvin. Entah mengapa rasa takutnya musnah dan tergantikan dengan rasa emosi yang aneh. Raska berbalik dan cepat-cepat menuju rumahnya. Pria manis itu membuka pintu rumah dengan tidak santai, menaruh kantung belanjaannya disisi pintu dan cepat-cepat pergi menuju arah dapur.

Lelaki kelahiran maret itu mengambil pisau dari dapur dan bergerak menuju gang tadi.

Entah apa yang ada dipikiran gilanya tapi pria itu tetap bernekat untuk melakukan ini.

ia harus membunuh pria itu.

• AESTEREID

tw// mention of blood and murder saya sarankan yang tidak kuat dengan darah untuk meng-skip part ini

“Kau tidak apa ku tinggal sendiri?” Harvian menatap sahabatnya yang masih berkutat dengan komputer didepannya.

Kantor tempatnya berkerja sudah sepi dan hanya tersisa mereka berdua. Harvian berniat untuk menunggu Raska menyelesaikan perkerjaannya tetapi lelaki manis itu menolaknya.

“Tidak apa Vian, kau bisa pulang lebih dulu.”

“Baiklah kalau begitu, berhati-hatilah ketika pulang. Jangan melewati jalanan sepi, jika terjadi sesuatu segeralah menelpon ku.” Harvian sedikit khawatir karena waktu sudah larut malam dan banyak terjadi kejahatan pada jam larut seperti ini. Ia berdoa semoga sahabatnya ini baik-baik saja dan selamat sampai rumah.

“Iya Vian, aku akan mengabari mu jika sudah sampai rumah. Pulanglah, sampai jumpa Vian.”

“Sampai jumpa, Raska.” Harvian melangkahkan kakinya keluar dari gedung itu. Suasana yang semula sedikit hangat mendadak menjadi dingin dan sunyi. Bulu kuduk Raska sedikit merinding dan membuat pria manis itu segera cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya.

Ayo Raska, sedikit lagi

Raska berusaha menyemangati dirinya. Ia harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk ini dan segera pulang. Malam sudah makin larut.

Ia terus fokus dan teliti agar tidak ada pekerjaan yang terlewat. Tangannya terus mengetik keyboard dengan cepat dan mengecek dokumen di mejanya sesekali. Memastikan jika tidak ada yang salah dengan pekerjaannya.

“Ya tuhan.” Raska mengusap keningnya yang berkeringat. Sudah dua jam terlewati dan akhirnya pekerjaannya sudah selesai.

Lelaki itu melihat jam tangan di lengannya. Sekarang waktu sudah menunjukan pukul 1 dini hari.

Dengan cepat Raska membereskan meja kantornya. Beberes dan bersiap-siap untuk pulang. Setelah merasa semuanya sudah selesai, pria mungil itu langsung memakai hoodie abu-abu miliknya dan menutup pintu sebelum beranjak pergi keluar dari gedung perkantoran tersebut.


Angin dingin seolah-olah menusuk tubuh pria mungil yang sedang berjalan sendirian di tengah malamnya ini.

Raska melajukan kecepatan jalannya sembari sesekali mengusap tubuhnya. Angin malam benar-benar membuatnya menggigil kedinginan. Ia ingin cepat-cepat pulang ke rumahnya untuk menghangatkan diri sembari meminum coklat hangat.

“Tolong.”

Suara lirih itu berhasil membuat Raska berhenti. Lelaki itu menengok kesana-kemari memastikan bahwa indra pendengarannya tidak salah.

Sepertinya ia mendengar suara orang meminta tolong.

“Tolong aku! Siapa pun ku mohon!”

Suara itu makin mengeras dan Raska meyakini bahwa telinganya tidak salah dengar.

Dengan segera pria manis itu pergi menuju sumber suara. Hingga akhirnya suara minta tolong itu membawanya menuju gang gelap nan sepi yang menakutkan.

Raska membulatkan matanya. Ia melihat seorang pria tua tengah dikukung oleh pria berkulit pucat. Pria tua itu tampak melawan ketika badannya mulai tidak bisa bergerak akibat badannya di kukung.

Punggung pria itu sudah mengenai dinding hingga pria tua malang itu tidak bisa kabur lagi.

“Hei kau! Tolong aku ku mohon!”

Pria itu menatap Raska dari kejauhan dengan tatapan penuh harapan. Berharap jika pemuda baik itu segera menolongnya.

Raska berlari cepat, ia harus segera menolong pria tua malang itu.

“Aku sudah haus kau tau? Kau tak bisa berlari lagi.” Pria berkulit pucat tersebut tersenyum menyeramkan membuat sang pria tua makin panik dan memberontak. Senyuman itu memperlihatkan gigi taring tajam, mengintimidasi seolah-olah akan mengigit leher pria itu.

“TIDAK!”

Teriak Raska ketika pria berkulit pucat tadi mengigit brutal leher sang pria tua. Mengoyakannya tanpa ampun hingga darrah bercucuran keluar dari saluran darah pria tua itu.

Mengoyak, mengigit, dan menjilati leher dengan brutal, hingga akhirnya menghisap darah sampai wajah lelaki tua itu memucat.

Tubuh pria tua itu jatuh dengan na'as dan sudah dipastikan bahwa nyawa sang pria tua sudah melayang.

Tubuh Renan membeku. Ia tidak bisa bergerak sedikit pun. Kejadian yang ia lihat didepan mata kepalanya sendiri, oh tuhan ia harap ini hanya mimpi buruk. Ayo tolonglah bangun!

Napasnya tertahan. Melihat darah yang berceceran sungguh membuatnya mual. Orang tadi, orang yang berteriak meminta tolong kepadanya tewas mengenaskan ditempat dengan luka koyakan dibagian leher dan bahu. Ia tidak bisa bergerak bahkan ketika orang berkulit pucat dan bermata jingga yang sudah berlumuran darah diarea wajah mendekat kearahnya.

Ini tidak mungkin kan? IA TIDAK SALAH LIAT KAN?

Orang itu, orang yang berkulit pucat dan bergigi tajam itu baru saja mengoyakan leher korbannya dengan brutal. Menghisap darah sang korban seolah olah tidak minum selama satu tahun.

“JANGAN MENDEKAT!!” teriaknya lantang namun tak didengar oleh pria berbadan besar yang kini menghampirinya. Raska terus bergerak mundur hingga punggungnya menyentuh dinding. Sudah tidak ada lagi jalan untuk berlari.

Napasnya tertahan. Sedikit lagi, sedikit lagi pria itu akan menerkamnya. Tinggal berjarak beberapa langkah lagi dan ia akan menjadi santapan selanjutnya.

Raska bersiap-siap melindungi dirinya. Saat sudah siap merasakan sakit ditubuhnya tiba-tiba suara hantaman terdengar.

Raska membuka matanya, ia tidak merasakan sakit sama sekali ditubuhnya.

Raska melihat ke depan. Sekarang dihadapannya terdapat pria berpunggung tegap nan kokoh berdiri didepannya.

“Marvin?” gumamnya ketika mengenali punggung tegap itu.

“Sialan,” umpat vampir berkulit pucat. Mata jingga Vampir itu menatap tajam Marvin didepannya, karena pria sialan ini ia tidak jadi menyantap santapan malamnya.

“Kenapa? Kau tak jadi menyantap makan malam mu?” ucap Marvin membalas tatapan tajam sang Vampir. Warna mata Marvin sangat berbeda dengan mata Vampir itu. Jika Vampir berkulit pucat memiliki mata berwarna jingga, Marvin memiliki mata berwarna merah darah. Jauh lebih mengerikan dibanding Vampir berkulit pucat.

Vampir itu mengepalkan tangannya, lalu tersenyum mengerikan sambil menatap Marvin dihadapannya.

“Kau yang akan menjadi santapan ku!”

Pria itu langsung berlari cepat dan beranjak menerkam Marvin, Marvin dengan cepat menghindar dan balas menyerang vampir itu.

Raska yang shock menyenderkan tubuhnya didinding. Kakinya melemas melihat pertarungan sengit keduanya. Tubuhnya membeku dan terasa tidak bisa bergerak.

“Kau tau, lebih baik kita langsung ke intinya.” Marvin tersenyum dan dengan cepat berlari kearah belakang pria itu dan dengan segera meraih kepala mengunci pergerakan kepalanya.

Sang vampir tampak kesulitan bernapas. Ia berusaha memukul-mukul Marvin agar melepas kuncian nya.

Kuncian itu semakin menguar. Sang vampir kesulitan bernapas dan mulai terasa lemas.

Disaat seperti ini Marvin mencengkram kepala sang vampir dan memutarnya 270 derajat hingga kepala vampir yang awalnya menghadap ke depan mulai berputar kearah belakang dan menghadap ke kanan.

Marvin lantas membengkokkan leher Sang Vampir dan mencengkram kuat rambutnya. Dengan sikunya, pria kelahiran agustus itu mendorong kebawah leher sang vampir hingga akhirnya.

KRAKKK

Kepala sang vampir terputus dari tubuhnya. Tubuh tanpa kepala itu kemudian terjatuh membuat orang akan ketakutan setengah mati jika melihatnya.

Marvin memenggal kepala Vampir itu dengan tangan kosong, dan memenggalnya tepat dihadapan pria mungil yang kini tubuhnya merosot kebawah.

Tubuh Raska bergetar apalagi saat melihat kepala Bampir tadi kini berada ditangan Marvin. Kepala itu bergelantung ditangan berotot itu karena Marvin mencengkram kuat rambutnya.

“Kau tidak apa?” Tanya Marvin ketika melihat tubuh bergetar Raska. Raska menatap Marvin ketakutan. Terlebih lagi ketika mata merah darah Marvin menatapnya.

Tubuhnya segera ia jauhkan dari lelaki itu ketika ia berusaha mendekatinya.

“Tidak apa, vampir itu sudah ku bunuh.”

“Jangan mendekat!” Dengan nada bergetar Raska berusaha bangkit dan berlari cepat menjauhi area itu. Raska bersumpah jika hari ini adalah hari paling sial yang pernah ia alami. Ia berlari cepat kearah rumahnya, ia segera ingin menenangkan diri dari kejadian mengerikan ini.

Setelah kejadian mengerikan ini, ia bersumpah akan menarik semua perkataannya tentang makhluk penghisap darah itu.


Marvin menatap kepergian Raska yang tergesa-gesa. Ia mengerti sekali pasti pemuda itu shock melihat ia memenggal kepala seorang vampir dengan tangan kosong. Tapi ia harus bagaimana lagi? Ini adalah satu-satunya cara untuk membunuh vampir. Ia tidak mungkin membakar vampir ditempat seperti ini kan?

Marvin menghela napas dan melepas cengkraman rambut kepala itu membuat kepala Sang Vampir tadi jatuh dan menggelinding. Lelaki berzodiak leo itu mengambil ponsel di sakunya dan menelpon seseorang.

“Juan, tolong aku membereskan kekacauan ditempat ini.”

• AESTEREID

CW// Little bit nfsw

Raska terus menggeliat kesana kemari untuk mencari posisi yang nyaman untuk tidur. Miring ke kanan, ke kiri, telentang, bahkan tengkurap pun sudah ia coba tapi mata dan otak nya tak kunjung lelah.

“Apa aku harus tidur bersama Vian? Ah tapi itu akan merepotkan.” Raska meringis pelan, ia tidak ingin terlalu merepotkan sahabatnya. Sahabatnya sudah sangat baik mengijinkannya menginap dan tidur dikamar tamu. Bahkan saat sampai dirumah saja Vian terus menanyakan keadaannya.

Raska menghela napas. Matanya memandangi langit-langit kamar yang gelap karena sudah malam. Lelaki itu memejamkan matanya dan berharap ia bisa tidur dengan nyenyak.

tok tok tok

Suara itu membangunkan dirinya. Raska membuka matanya dan melihat area sekitar kamar.

Tidak ada apa-apa.

Mungkin hanya angin, batin Raska. Lelaki manis itu memejamkan matanya lagi. Dan berusaha menghiraukan suara yang terus bermunculan.

tok tok

Ia menghiraukannya.

tok tok tok

Ia berusaha mendiamkannya.

TOK TOK TOK

“APA LAGI SIALAN?!” Raska berteriak cukup kencang. Suara itu benar-benar mengganggu tidurnya. Jika itu suara burung maka Raska akan bersumpah jika ia akan mencekik burung itu sampai mati.

Mata cokelat itu berusaha memfokuskan penglihatannya. Dirinya terlonjak kaget ketika melihat siluet bayangan berada didepan pintu sedang menatapnya.

TUHAN TOLONG BANGUNKAN AKU!

Raska menampar pipinya berkali-kali, berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini hanya mimpi belaka. Ia melihat kembali kearah pintu dan tetap melihat siluet orang tersebut.

Sepertinya, ia familiar dengan bayangan itu.

“Marvin?” gumamnya ketika ia menyipitkan matanya dan berusaha melihat lebih jelas siapa orang yang berada didepannya.

BRUKKK

“ARGH!” Raska meringis ketika bayangan itu berlari cepat kearahnya dan mendorong tubuhnya hingga terlentang. Lelaki itu berusaha menggerakan tangannya tapi kedua pergelangannya dicengkarm kuat, ia merasa badannya ditindih dan tidak bisa bergerak

Raska menahan napasnya ketika kepala itu bergerak ke lehernya. Ia mencoba memberontak tapi kekuatannya tak sebanding dengan orang yang mengukungnya sekarang.

“Jangan,” ucapnya lirih. Mengacuhkan perkataan Raska, pria yang mengukungnya itu kini malah memperdalam kepalanya ke leher Raska. Menghirup aroma wangi yang keluar dari leher si manis.

Raska berusaha memberontak, tapi pria itu tak kunjung melepaskan dirinya dan malah makin menguatkan cengkramannya.

“ARGH! PERGI SIALAN!!” Raska berteriak keras ketika merasa ada sesuatu yang mengigit-gigiti lehernya. Terasa sedikit perih dan menyakitkan. Ia terus-terusan memberontak hingga akhirnya.

“HAH?!” Raska membuka matanya dan mengatur napasnya. Ia melihat sekitar kamarnya dengan tatapan penuh kewaspadaan. Dengan badan yang sedikit gemetar dan langkah yang terburu-buru, pemuda kelahiran maret itu berjalan kearah cermin di kamarnya dan menatap pantulan dirinya.

Tubuhnya berkeringat, rambutnya tampak lepek dan kantung mata yang mulai terlihat. Namun ada satu yang menarik perhatiannya.

“Bangsat.” Raska langsung menarik-narik kerah bajunya hingga menampilkan leher dan bahu putih nan mulus. Namun sekarang lehernya tampak berwarna sedikit kemerahan.

Raska mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Melihat penuh kemarahan kearah lehernya yang kini tidak mulus lagi.

“MARVIN SIALAN! AKU BERSUMPAH AKAN MEMBUNUH MU!”

• AESTEREID

Suara air yang mengalir dari kran memecah keheningan toilet kantor yang sepi dan sunyi. Seorang pemuda manis terlihat membasuh wajahnya dengan air dingin menyegarkan itu. Mengusap wajahnya berkali-kali membuat wajah dan poninya basah.

Raska menghela napas sambil memandangi wajahnya yang basah kuyup akibat air tadi. Sensasi menyegarkan ia rasa disekitar area wajahnya. Pemuda itu lantas mengambil tisu dan mengeringkan wajahnya.

“Kau tampak lelah.” Renjun terkejut dan langsung menoleh kearah belakang. Matanya melotot kaget ketika melihat pria tegap berdiri di belakanganya.

Bagaimana ia bisa ke sini? Bagaimana caranya ia masuk kedalam gedung ini? Mengapa ia tidak memakai pakaian kantor? Apa ia bukan penggawai di gedung ini? Bagaimana pria ini bisa masuk secara tiba-tiba?

Semua pertanyaan muncul menjadi satu, meninggalkan tanda tanya besar di pikiran Raska. Lamunannya buyar ketika pria berbadan tegap itu melangkah mendekatinya.

“Siapa kau!” ujar Raska berani. Ia tidak ingin terlihat penakut didepan pria entah siapa itu. Padahal jauh didalam dirinya, hatinya menjerit ketakutan karena aura yang terpancar dari pria misterius ini.

“Sepertinya aku harus mengapresiasi keberanian mu itu.” Pria itu tersenyum miring. Ia tau jika Raska sedang menahan takutnya dengan wajah galak seperti itu. Sepertinya ia harus memberikan piala aktor terbaik. Atau lebih tepatnya, aktor yang berakting dengan baik.

“Apa kau tidak mengenal ku? Wah, kau jahat sekali. Apa aku harus mengenalkan diriku agar kau ingat siapa aku?” Raska mengepalkan kedua tangannya. “Tidak usah berbasa-basi!”

Pria itu terkekeh lalu menatap Raska yang sudah memberikan tatapan tajam kepadanya. “Aku Marvin, kau tidak ingat?”

Marvin? Siapa?

Raska terdiam sebentar. Mencerna perkataan Marvin barusan dan mengingat-ingat siapa pria yang berada dihadapannya.

DIA ORANG YANG BERDEBAT DENGANNYA DI INTERNET 'KAN?

“KAU?!” ucap kencang Raska saat menyadari siapa pria ini. Tangannya mengepal kuat, ia masih kesal karena insiden di internet kemarin.

“Bagus, ternyata kau mengingat ku. Kau tau hati ku terasa sakit ketika-”

“Tidak usah berbasa-basi sialan!” Rahang Raska mengeras. Wajahnya mulai memerah. Amarahnya yang menggebu-gebu terlebih lagi ketika melihat tatapan santai yang Marvin berikan kepadanya.

“Jadi kau ingin aku langsung ke intinya?” tanya Marvin santai seolah-olah sedang tidak terjadi apa-apa.

“Sialan!” umpatan Raska membuat Marvin terkekeh.

“Baiklah jika itu mau mu.” Marvin memejamkan matanya sesaat. Raska yang awalnya merasa suasana memanas mendadak menjadi sunyi dan aneh. Aura Marvin mendadak menjadi menakutkan. Instingnya berkata bahwa sesuatu mengerikan akan segera terjadi.

Dan yang benar saja. Saat Marvin membuka matanya, mata itu mendadak berwarna merah. Mata yang awalnya berwarna hitam normal berubah menjadi merah darah.

Tubuh Raska bergetar, otak dan tindakannya tidak bisa diajak berkerja sama. Tubuh mungil itu kian mundur apalagi saat melihat gigi taring runcing milik pria berzodiak leo itu.

“Kenapa kau ketakutan? Tadi sepertinya kau pemberani,” ujar Marvin yang melihat Raska berjalan mundur.

Raska bersumpah ia ingin sekali menghajar wajah kokoh nan rupawan itu. Bagaimana ia tidak shock melihat pemandangan seperti ini?

“Sekarang kau percaya 'kan bahwa vampir itu nyata?” ucap Marvin.

Raska menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak, tidak, tidak ia pasti sedang berhalusinasi. Ini tidak nyata 'kan? Vampir kan hanya dongeng. Mereka tidak nyata!

AYO RASKA SADARLAH!

“Jangan mendekat!” Teriakan Raska menggelar saat Marvin berjalan mendekat. Pria itu terus mendekat hingga punggung Raska sudah mengenai dinding. Ia terpojok.

Raska mendorong dada bidang itu, memberi jarak antar keduanya. Namun kekuatannya tak sebanding dengan Marvin. Pria itu terus mendekat hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.

Jantungnya berdegup kencang. Ia dapat merasakan hembusan napas pria itu diwajahnya. “Apa aku harus membuat mu lebih percaya bahwa kami itu nyata?”

Suara berat itu mengisi pikiran Raska. Jantungnya terus berdetak cepat, napasnya kian memendek, dan tubuhnya menjadi bergetar. Ia meneguk ludahnya sendiri, berusaha menetralisir rasa takut dan degup jantung yang gila-gilaan.

Raska menahan bahu Marvin ketika pria itu mendekat ke arah lehernya. Merasa tertahan, Marvin menatap mata intens Raska seolah-olah berkata Jangan. Halangi. Aku.

Tidak takut dengan tatapan Marvin, Raska membalas tatapan itu dan terus menahan bahu pria kelahiran agustus hingga akhirnya Marvin menahan tangannya di samping kepalanya. Mencengkram kuat pergelangan tangannya agar ia berhenti memberontak. Raska akhirnya berhenti memberontak ketika cengkaraman itu kian terasa kuat. Ia merasa pergelangannya sudah memerah.

Kepala itu terus mendekat kearah lehernya. Raska menahan napas. Bersiap merasakan sakit yang akan ia rasakan diarea lehernya.

Hembusan napas mulai terasa dileher hingga pada akhirnya.

“HAHHH?!”

Raska mengatur napasnya yang berderu cepat. Kepalanya terasa pusing. Kakinya terasa amat lemas hingga akhirnya ia merosot jatuh terduduk di toilet. Raska memegang dadanya, menetralisir degup jantung yang masih kencang.

Pria manis itu mengambil napas dalam. Berusaha menenangkan dirinya yang masih terguncang karena kejadian tadi.

Apa ia digigit? Tapi mengapa di toilet hanya ada dirinya? Apa ia berhalusinasi?

Satu-persatu pertanyaan muncul membuat kepala Raska makin pening. Raska meringis dan memijit pelan keningnya. Berharap rasa pusingnya menghilang.

Oh tuhan, ia harap ini semua tidak nyata. Semoga ini semua hanya halusinasi.

• AESTEREID