AESTEREID

Dia yang tak percaya bahwa kehadiran mereka nyata

“Turut berbelasungkawa,” ucap pria berkulit tan sambil menunduk. Pria itu kembali memandang televisi kecil di pojok cafe yang menayangkan berita seputar kasus pembunuhan. Sang reporter menjelaskan dengan rinci dan jelas bagaimana kasus pembunuhan itu dari sisi pihak kepolisian.

“Korban diketahui kehabisan darah diduga karena tubuhnya dibiarkan semalaman. Tapi polisi masih menginvestigasi lebih dalam mengenai kasus ini. Mari berdoa agar kasus ini cepat terselesaikan dan sang pelaku segera tertangkap.”

Perkataan sang reporter membuat tubuh Harvian sedikit meremang. Dalam sebulan ini sudah terjadi dua kasus pembunuhan di kotanya dan dua korbannya memiliki akibat kematian yang sama. Kehabisan darah.

“Begitu menyeramkan! Bagaimana bisa ada dua kasus dengan kematian yang sama?!” ujar Harvian sambil memukul meja pelan.

“Mungkin sang pelaku psikopat?” ucap Raska, pemuda manis yang duduk berhadapan dengannya.

“Tapi apa tidak aneh? Mereka sama-sama kehabisan darah.” Seorang pria lain ikut berucap setelah mendengar perkataan mereka.

“Apa jangan-jangan mereka tewas karena vampir?” ujar lelaki lainnya yang mampu didengar oleh Raska.

“Jangan konyol, vampir itu tidak ada,” pangkas Raska sambil memandang pemuda yang tampaknya masih berumur belasan.

Tak terima dengan ucapan Raska, pemuda itu langsung menyampaikan pendapatnya. “Tapi menurut mitos di kota ini vampir itu nyata! Nenek ku saja pernah bertemu langsung dengan vampir!”

“Itu nenek mu, pasti dia mengarang!”

Perdebatan antara Raska dan pemuda itu tak kunjung mereda, malah perdedatan antar keduanya kian memanas. Pemuda itu masih saja meyakinkan kalau makhluk mitologi itu nyata sementara Raska masih berpegang teguh dengan keyakinannya.

Harvian berusaha menenangkan keduanya. Suasana cafe menjadi agak riuh karena perdebatan yang tak kunjung reda. “Hey sudahlah, jangan bertengkar!”

Harvian kesal dengan orang-orang yang berada di cafe ini. Apa mereka tidak berniat melerai keduanya?

Mengapa para pengunjung tidak membantunya untuk menenangkan dua orang ini? Mengapa para penggawai dan pemilik hanya diam dan melihat mereka berdua bertengkar?

“Sudahlah Ras, tenanglah.” Harvian berusaha menenangkan Raksa yang masih beradu mulut dengan orang itu. Hingga akhirnya mereka berdua bisa diajak berkerja sama dan saling berdamai.

Sungguh konyol, berdebat hanya karena beragumen vampir nyata atau tidak.

Harvian dan Raska akhirnya keluar dari ruangan beraroma kopi tersebut. Sepoian angin sore menerpa tubuh keduanya, menghantarkan suasana sejuk yang mampu menenangkan hati.

Raska menarik napas, berusaha menenangkan dirinya yang masih terasa panas akibat perdebatan tadi. Sejuknya angin sore berhasil menenangkan dirinya yang tadi berapi-api.

“Aku muak, kenapa orang-orang selalu mengaitkan sesuatu dengan mitos atau legenda? Jaman sudah modern dan mereka masih mengaitkan sesuatu dengan hal kuno seperti itu.” Rasanya Raska ingin meluapkan semua isi pikirannya.

Sudah dua minggu ini tidak sedikit orang disekitarnya berbicara tentang vampir, vampir, dan vampir. Di kantor tempatnya berkerja, di area perumahan tempat tinggalnya, di cafe bahkan di halte pun orang-orang berbicara tentang makhluk penghisap darah itu. Itu membuatnya kesal!

Yang membicarakan hal itu biasanya anak muda yang masih berumur belasan. Mereka percaya bahwa makhluk mengerikan itu nyata dan penyebab atas kejadian pembunuhan yang terjadi di kota ini. Namun tidak sedikit pula orang yang sudah berumur yang percaya dengan mitos tersebut.

Untuk orang yang tidak percaya hal supranatural seperti Raska akan menganggap hal itu hanya omong kosong dan dongeng semata. Namun mendengar gosip itu terus-terusan membuat Raska makin kesal. Ia yang awalnya diam menanggapi gosip itu lama kelamaan menjadi muak dan marah.

Hanya karena korban meninggal dengan kehabisan darah mereka langsung berpikir bahwa makhluk mitologi itu yang melakukannya? Ingin rasanya Raska berteriak dan berkata bahwa vampir itu tidak nyata.

Harvian menghela napas lalu menepuk pundak sang sahabat. Ia tau pasti bahwa sahabatnya sudah muak mendengar gosip seperti itu.

“Pendapat orang berbeda-beda, Raska. Mungkin saja pemuda itu memang memercayainya.” Perkataan Harvian sontak membuat Raska menekukan bibir. “Tapi itu konyol!”

“Sudahlah biarkan saja,” ujar Harvian. Temannya ini memang keras kepala. Pendapat orang berbeda-beda ia tidak bisa selalu membenarkan pendapatnya.

Raska mendengus sebal. Ia masih kesal dengan orang yang berdebatnya tadi.

Raska memejamkan matanya dan menghela napas. Berusaha menenangkan dirinya yang masih terasa gerah. Ia menghirup dalam-dalam angin sore yang menyejukkan dan melihat sekitarnya. Orang berlalu-lalang kesana kemari untuk pulang karena hari sudah mulai gelap. Pikirannya berkelana, ia harus melupakan kejadian tadi.

Hingga dipertigaan jalan ia berpisah dengan sahabatnya, Harvian. Rumah mereka memang berada dijalan yang berbeda namun masih terbilang berjarak dekat.

Raska berjalan menuju rumahnya yang berada diujung jalan. Rumah kecil nan hangat namun nyaman untuk ditinggali.

Raska memasukan kunci ke lubangnya dan membuka pintu berwarna putih yang sudah berumur cukup lama. Ia lantas merebahkan tubuhnya di sofa, tidak lagi memedulikan tas dan sepatunya yang ia taruh sembarangan. Yang ia pikirkan sekarang adalah cara mengistirahatkan tubuhnya.

Raska menghela napas dan mengambil ponsel di sakunya. Melihat pesan yang belum sempat ia baca karena dirinya sibuk dengan perkerjaannya.

• AESTEREID

Seorang pria meletakan potongan kayu ke dalam tungku perapian yang menyala. Membuat api didalam tungku tersebut makin membesar dan cukup menghangatkan dua orang dari dinginnya malam.

“Kau tidak tidur?” ujar seseorang membuat Mark menoleh. Ia melihat kearah Renjun yang tengah berbaring disofa dengan selimut tebal yang membungkus tubuhnya. Membuat lelaki mungil itu seolah tenggelam karena selimut yang berukuran lebih besar darinya. Ah imut sekali.

“Tidak. Kamu kenapa tidak tidur?” Mark membalikan pertanyaan.

“Aku menunggumu tidur.” Mark terkekeh. Pria berbadan tegap itu berdiri dan menghampiri kekasihnya yang masih berbaring. Pria itu kemudian duduk di karpet hangat dan mengusap rambut coklat kesayangannya.

“Tidurlah lebih dulu, ini sudah malam,” ucapnya tanpa menghentikan kegiatannya mengusap rambut Renjun. “Aku tidak akan tidur sebelum kamu tidur, Mark.”

“Keras kepala.”

“Kau juga keras kepala,” ucap Renjun tidak mau kalah.

Mark terkekeh pelan. Tangannya tak henti-hentinya mengusap lembut rambut Renjun. Rambut beraroma wangi yang berhasil membuat hatinya tenang kala menciumnya. Raska memakai shampoo apa sampai wangi rambutnya bertahan lama?

Renjun menikmati usapan di kepalanya. Jujur itu membuatnya makin mengantuk tapi tetap saja ia mengikuti prinsipnya. Tidak akan tidur sebelum Mark tertidur. Matanya beralih ke Mark yang sedang melihat api tungku perapian. Beberapa detik ia menatap Mark sampai tiba-tiba ia menyadari sesuatu.

“Kau tidak kedinginan?” ujarnya khawatir. Mark hanya memakai kemeja putih dan celana panjang berwarna hitam. Apa ia tidak kedinginan? Raska saja kedinginan bahkan tadi sempat menggigil. Entah mengapa malam ini sepertinya dingin sekali.

“Tidak,” jawab Mark singkat.

“Aku tahu kau vampir. Tapi tetap saja kau akan sakit!” Renjun menggeser tubuhnya untuk memberi ruang di sofa. Tangannya menepuk pelan tempat kosong disampingnya.

“Tidurlah.”

“Tidak mau.”

Renjun mencebik kesal. Kekasihnya ini ingin cari penyakit? Bagaimana jika ia demam? Atau terkena flu? Pacarnya memang keras kepala.

“Terserah!” Renjun membalikan tubuhnya dan menyelimuti seluruh tubuhnya dengan selimut. Membuatnya terlihat seperti kepompong dan itu membuat Mark gemas.

“Jangan marah sayang, aku tidak apa-apa.” Mark berusaha mengusap kepala Renjun tapi si manis menolak. Ia menjauhkan tubuhnya saat Mark berusaha untuk menyentuhnya. Bahkan sampai tubuhnya sudah benar-benar berada di pojok sofa.

“Aku tidak apa-apa sayang.” Tidak ada jawaban.

“Imun tubuh para vampir lebih kuat daripada manusia. Kau harus mementingkan dirimu.” Dan masih tidak ada jawaban. Sepertinya miliknya benar-benar sedang marah.

Mark berusaha menutup telinganya dari berbagai perkataan Marvin. Ia tidak peduli, ia masih marah!

Sampai akhirnya suasana berubah sunyi. Tidak ada lagi percakapan Mark yang mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Ada apa? Mengapa tiba-tiba diam dan sunyi?

Pergerakan terasa dibelakangnya. Dan tiba-tiba sebuah tangan melingkar diperutnya, Ia merasakan deru napas berada dilehernya. Renjun menahan napas. Perbuatan Mark jelas membuat jantungnya berdetak tidak karuan.

“Jangan marah,” ujar Mark yang merengek seperti anak kecil.

SIAL!

Perkataan itu membuat hati Renjun meleleh. Pacuan degup jantungnya makin terasa cepat apalagi saat ia merasa pelukan ditubuhnya semakin mengerat dan tubuh Mark yang makin menghimpitnya.

“Kamu masih marah?”

Sial, sial, sial! Sekarang Mark sedang mengendus-endus lehernya seperti anak anjing.

Tenangkan lah hati mu Renjun. Tuhan tolong aku, sepertinya aku akan meleleh sekarang

Renjun menghela napas. Sambil berusaha menetralkan degup jantungnya Renjum membalikan badannya perlahan dan memeluk kepala Mark, membuat Mark menenggelamkan kepalanya dileher putih sang kekasih.

“Sudahlah, aku tidak marah,” ujar Renjun sambil mengusap lembut kepala Mark. Mark terus mendusel dileher Renjun sampai akhirnya berhenti dan menyenderkan kepalanya dibahu si manis.

“Kau mengantuk?” Mar menggelengkan kepalanya. Ia belum mengantuk sekarang.

Renjun mengusap-usap rambut hitam Mark sementara sang empunya masih memeluk erat pinggang si mungil, seolah olah takut jika Renjun akan pergi meninggalkannya.

Mark kemudian menatap Renjun lalu mengecup pipi tembab yang selalu membuatnya gemas.

“Aku mencintai mu.” Pandangannya tak terlepas dari Renjun, lelaki yang selalu menyita perhatiannya.

“Aku juga mencintai mu,” ucap Renjun lalu mengecup kening pasangannya.

“Aku lebih mencintai mu.”

“Aku jauh mencintai mu.”

“Aku mencintai mu seratus kali lipat.”

“Aku dua ratus kali lipat.” Keduanya terkekeh. Rasa cinta keduanya tidak bisa terhitung dengan angka. Cinta mereka tak terbatas untuk satu sama lain.

“Sepertinya kita harus segara menikah,” ujar Mark tiba-tiba. “Kau ingin acara seperti apa? Dalam ruangan atau luar ruangan?”

Renjun menepuk pelan kening Mark. “Bicaralah seperti itu ketika kita sudah menang melawan kumpulan para vampir sialan itu.”

Kekasihnya ini, ingin sekali Renjun menjitak kepalanya dengan keras. Perselisihan dua pihak vampir belum terselesaikan dan kekasihnya masih saja membahas hal lain.

“Aku yakin kita akan menang,” ucap Mark. “Aku akan memenggal kepala mereka yang berusaha menyakiti mu.”

“Dan aku akan menusuk mereka yang berusaha membunuh mu.” Renjun bersumpah akan membunuh siapa pun yang menyakiti orang yang ia cintai. Tidak peduli itu manusia atau vampir. Renjun bersumpah akan tetap membunuhnya.

“Aku mengantuk.” Mark kembali mendusel dileher Renjun lalu mengistirahatkan kepalanya dileher putih Renjun.

Renjun mengusap kepala Mark dan mengecup keningnya. Ia menyenderkan pipinya ke atas kepala Mark.

“Good night love,” ucapnya sebelum menutup matanya.

Membiarkan kehangatan meliputi mereka dengan suasana tentram dan perapian yang masih menyala.

Mereka berjanji untuk saling melindungi, saling mengasihi, dan saling menyayangi. Meski mungkin rintangan berat menanti.

Kita layaknya fajar dan senja. Dua hal berbeda namun saling berkaitan.

Layaknya fajar membawa sinar matahari menghangatkan. Kamu membawa kebahagiaan.

Layaknya senja yang disambung dengan malam. Aku adalah tempat mu untuk beristirahat.

Aku akan selalu menjadi tempat mu bersandar, tempat mu berlindung, dan tempat mu untuk mencari kebahagiaan.

• AESTEREID

Renan mengusap wajahnya kasar. Lalu membanting dirinya ke kasur yang empuk dan hangat. Lelaki itu menghela napas panjang. Semenjak kejadian Mahesa yang menyatakan perasaannya, Renan merasa pusing.

Harusnya ia tidak memikirkan perkataan Mahesa, toh ini urusan orang lain bukan urusannya. Tapi entah mengapa Renan terus memikirkannya.

“Kenapa begini!” teriaknya lantang. Ia ingin sekali mengeluarkan semua emosi yang berada didalam dirinya. Ingin sekali ia menghancurkan barang disekitarnya untuk meluap emosinya.

Hubungannya yang semakin renggang, Mahesa yang menyatakan perasaannya, dan kondisi keluarganya yang tak seharmonis dulu membuat kepalanya pusing.

Kenapa hal ini selalu terjadi padanya? Kenapa tidak ada hal membahagiakan yang datang? Hidupnya seolah penuh dengan kesialan.

Keluarganya, percintaannya, bahkan pertemanannya tidak ada yang beres.

Jika kalian mengira Renan memiliki banyak sekali teman maka kalian salah. Renan hanya punya dua teman yang selalu ada bersamanya.

Yang lain? Ah, Tidak ada yang mau berdekatan dengannya. Renan yang malas bersosialisasi juga menjadi alasan mengapa ia hanya memiliki dua teman.

Renan tidak ingin terus-terusan membebani sahabatnya. Ia merasa tidak enak sehingga ia harus memendam semua ini sendiri.

Sepertinya tidak ada yang beres dalam hidupnya.

Renan bangkit dan berjalan kearah dapur. Ia butuh air dingin untuk memadamkan emosinya. Ia berjalan melewati lorong sepi rumah. Rumahnya tampak kosong bahkan jika dilihat dari depan seperti tidak ada yang menempati rumah itu.

sendiri lagi sendiri lagi, batin Renan.

Renan berpikir ia tidak membutuhkan semua ini. Untuk apa rumah besar ini jika hanya ada satu orang yang menempatinya?

Untuk apa ruang keluarga yang luas jika tidak ada canda tawa yang mengisinya?

Renan iri sekali dengan temannya yang memiliki keluarga yang hangat. Tidak perlu hal mewah, keluarga kecil yang sederhana saja sudah membuatnya iri.

Ayahnya yang gila kerja dan kakak laki-lakinya yang berkuliah jauh dari rumahnya membuat Renan harus menerima kenyataan pahit bahwa ia harus tinggal sendirian.

Ia merasa seperti tidak punya keluarga. Ia merasa seperti tidak akan ada orang yang datang dan memberikannya kebahagiaan.

Dimana kebahagiaannya? Ia membutuhkannya. Tolong berikan ia kebahagiaan meski sebentar saja.

• AESTEREID

“Raska! Siapkan belati mu!” ucapan itu membuat Raska langsung mengantongi ponselnya dan menggenggam erat belati ditangannya.

Suasana merinding sekaligus mencekam ini membuat bulu kuduknya berdiri. Pria mungil itu bersusah payah untuk menelan ludahnya. Menetralisir rasa takut dan khawatir yang berada dibenaknya.

Pemuda tinggi berbahu tegap didepannya kini sedang menatap pepohonan rindang yang begitu menyeramkan. Minimnya pencahayaan dan sepinya jalanan membuat suasana semakin menyeramkan. Ditambah lagi angin malam yang dingin membuat tubuh mungil itu sedikit merinding.

“Ada apa Marvin?” tanya Raska sambil berbisik. Lelaki manis itu berlindung dibalik punggung kokoh sang dominant. Jujur Ia tidak berani melihat hutan gelap itu.

Marvin menatap Raska lalu menunjuk pepohonan dengan dagunya. “Aku mendengar suara dibalik pepohonan.”

Raska kembali mengeratkan genggaman belatinya. Bersiap jika ada sesuatu muncul dibalik pohon-pohon rindang nan tinggi. Memikirkan kemungkinan buruk yang akan terjadi.

Apa itu hewan buas? Atau penjahat? Pembunuh yang berkeliaran? Atau mungkin, itu vampir yang mengincar mereka.

Tidak-tidak. Jangan sampai hal terakhir terjadi, ia tidak ingin itu menjadi kenyataan. Ia belum siap untuk bertarung melawan para vampir yang haus akan darah. Ia tidak bisa membayangkan seberapa mengerikannya jika hal itu benar terjadi.

Raksa berusaha mengatur nafasnya. Ia melihat Marvin yang sedang menatap tajam kearah hutan belantara. Matanya yang semula berwarna hitam berubah menjadi merah darah.

Raska menahan napas. Menurutnya Marvin menyeramkan jika sudah seperti ini, meski ia sudah tahu bahwa sang kekasih berhati lembut dan baik tapi tetap saja itu menyeramkan baginya.

Marvin berusaha memastikan bahwa tidak ada sesuatu dibalik kegelapan. Matanya melihat kesana kemari untuk memastikan keadaan.

Akhirnya matanya kembali berubah semula disaat ia yakin bahwa tidak ada sesuatu yang membahayakan.

“Sepertinya hanya angin. Kita harus bergerak cepat ke rumah, aku takut akan terjadi sesuatu jika kita terlalu lama berada disini.” Marvin menatap Raska yang masih merasa ketakutan. Rasa bersalah menyelimuti dirinya. Harusnya ia tidak membawa sang kekasih pergi disaat malam hari seperti ini. Terlalu berbahaya.

“Baiklah. Ayo cepat.” Raska lantas berjalan dan menarik lengan Marvin. Tapi Raska berhenti karena Marvin tidak mengikutinya. Dominant-nya itu hanya diam dan tidak bergerak sedikit pun.

“Ayo cepat.” Raska berusaha menarik lengan Marvin tetapi pria itu tetap saja tidak mau bergerak. Tubuh Marvin yang lebih besar dan tegap membuat dirinya kesusahan untuk menariknya.

“Kata mu kita harus bergerak cepat tapi kenapa kamu hanya diam saja?!” ujarnya kesal. Pemuda mungil itu menghentikan aksinya dan menatap tajam Marvin. Menyebalkannya Marvin hanya menatap datar kearahnya.

kekasihnya ini benar-benar mengesalkan! Sudah membawanya ke hutan ditengah malam, tidak membawakannya jaket atau penghangat karena udara dingin, ditambah lagi tidak berjalan cepat untuk sampai ke tujuan membuatnya ingin sekali menusukan belati ditangannya ke dada sang kekasih.

“MENYEBALKAN!” teriaknya lalu berbalik. Ia memilih berjalan sendiri dan meninggalkan Marvin.

Masa bodo. Yang penting ia sampai ke tujuan. Ia ingin sekali berbaring dikasur hangatnya dan menggulung dirinya dengan selimut nyaman. Kalau saja pacarnya ini tidak nemaksanya pergi ditengah malam pasti ia sudah tidur dengan aman dan nyenyak.

Suara derap langkah kaki terdengar. Suara itu terdengar seperti orang yang sedang berlari. Raska seketika terdiam. Ia merasa langkah kaki itu menuju kearahnya. Dengan perlahan ia berbalik dan

BRUKKKK

“MARVINNN!!” teriaknya lantang. Marvin tertawa melihat wajah panik sang kekasih. Cowok itu membetulkan posisi gendongannya. Saat ini Marvin tengah menggendong Raska dengan posisi ala bridal style

Raska memukul-mukul tubuh Marvin. Lelaki ini benar-benar ingin jantungnya copot. Ia panik karena ia berpikir bahwa yang berlari adalah vampir yang ingin menerkamnya.

“Kau mengagetkan ku sialan!!” ujarnya lantang. Beruntung Raska tidak langsung menusuknya dengan belati. Lelaki ini memang kurang ajar! Ingin sekali ia menendangnya.

Kecupan kupu-kupu hinggap di bibirnya. Raska langsung terdiam dan menatap Marvin sementara Marvin terkekeh melihatnya.

“Kau tampak menggemaskan saat sedang marah,” ujarnya sambil tersenyum. Gemas sekali ketika melihat miliknya ini marah dan kesal. Ingin sekali ia mencubit pipi tembab itu namun ia yakin sekali Raska akan mengamuk jika ia mencubitnya.

Raska menggembukan pipinya. Ia memilih untuk melihat kearah lain dibanding melihat wajah menjengkelkan sang kekasih.

Keduanya sama-sama hening, tidak ada yang membuka topik pembicaraan. Mereka memilih saling diam ditengah jalan gelap ini.

Lagipula ini sudah malam, yang berada di pikiran mereka berdua adalah cepat sampai ketempat tujuan.

Hingga pada akhirnya mereka sampai ketempat tujuan. Rumah kecil yang nyaman ditengah belantara hutan yang gelap. Dan sepertinya mereka akan tinggal di sana malam ini.

• AESTEREID

Sekolah sudah sepi karna para murid sudah pulang kerumahnya masing-masing. Menyisakan beberapa murid yang masih berada disekolah termasuk lelaki yang kini sedang menunggu seseorang di lapangan belakang sekolah.

Mahesa menyenderkan punggungnya didinding bangunan yang sudah mulai berumur itu. Matanya menerawang, berusaha mencari-cari sesosok yang selalu menyita pikirannya.

Ah, itu dia.

Renan akhirnya datang. Si mungil dengan wajah galaknya itu mendatangi Mahesa dengan langkah yang tergesa-gesa dan langsung melayangkan satu pukulan di wajah tampan pria yang kini dihadapannya.

Jadi ini orang yang membuat hubungannya renggang? Sialan memang!

“Gue peringati lo. Jangan. Deketin. Pacar. Gue,” ujarnya penuh penekanan. Matanya menatap tajam Mahesa yang kini memegang bibirnya yang sedikit berdarah. Ternyata pukulan Renan tak selemah yang Mahesa kira.

Mahesa mengangkat kepalanya dan membalas Renan. Pria mungil itu sepertinya akan meledak-ledak sekarang.

“Siapa juga yang deketin cewek lo?”

“Lo ternyata masih ngelak ya?” ujar Renan sambil mengepalkan satu tangannya.

“Lo suka 'kan sama cewek gue? Lo mau deketin dia 'kan?”

“Jangan banyak alasan, lo udah ketahuan.” Renan mengeraskan rahangnya. Menatap penuh amarah lelaki yang berada didepannya.

Karenanya perempuan yang ia sayang mulai menjauhinya. Karenanya pacarnya mulai tidak bisa membagi waktu untuknya. Karenanya gadis miliknya mulai berpaling darinya.

Mahesa menatap Renan dengan tatapan tenang. Berusaha mengendalikan emosi didalam dirinya. Meski tau Renan mungkin akan menghajarnya lagi, ia tetap tidak mau menyakiti orang yang berhasil membuat dirinya jatuh cinta.

Dan juga jatuh terlalu dalam.

“Jauhin cewek gue, sialan!” ujarnya sebelum memukul lagi wajah Mahesa. Cowok itu kemudian memundurkan langkahnya dan berjalan pergi dari tempat itu. Ia sudah cukup memberikan peringatan kepada kakak kelasnya.

Masa bodo ia akan dijadikan bahan omongan angkatan. Presetan dengan hal itu. Ia tidak peduli.

“Siapa yang suka sama pacar lo?” Teriakan itu membuat Renan menghentikan kakinya. Cowok itu mencengkram tali strap tasnya. Kakak kelasnya ini memang ingin sekali cari ribut.

“Gue sukanya sama lo.”

Renan membeku. Ucapan tersebut berhasil membuat aliran darahnya seolah-oleh berhenti.

Ia tidak salah dengarkan Suka? Suka dengannya? Lelaki itu menyukainya??

Renan perlahan menoleh kebelakang. Melihat wajah lelaki yang sedikit babak belur karena pukulan tadi.

Mahesa membalas tatapan Renan. Suasana hening seketika meliputi keduanya. Mereka berdua terdiam. Berusaha mencerna apa yang sedang terjadi sekarang.

“Apa-apaan,” gumam Renan. Ia masih tidak percaya dengan hal yang ia dengar.

“Lo ga denger? Gue suka sama lo,” ucap Mahesa lantang.

dan jatuh terlalu dalam sama lo, lanjutnya dalam hati.

Kali ini Renan mendengarnya dengan jelas. Dia masih mematung. Lelaki itu baru saja menyatakan perasannya?!

Seketika Renan tersadar dari pikirannya dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Tidak, tidak, tidak. Ini tidak mungkin benarkan?

Renan mengepalkan kedua tangannya dan berteriak.

“DASAR GILA!”

Kemudian ia berjalan cepat menuju gerbang sekolah sembari berusaha melupakan hal yang terjadi di lapangan.

Yeah, i'm crazy. Because of you,” gumam Mahesa ketika punggung Renan sudah tak terlihat lagi.

I hope you will fall in love with me, seperti yang gue rasakan saat pertama kali ketemu lo.” Mahesa menghela napas kemudian menatap lagi ketempat Renan berjalan pergi sebelum meninggalkan lapangan yang menjadi saksi bisu awal mula kisah mereka.

• AESTEREID

Dipta memandang keramaian orang-orang ditengah indahnya malam ini. Bintang-bintang bersinar terang dan bulan tidak malu-malu untuk memancarkan sinarnya.

Sekarang ia berada dipasar malam yang ramai sekali pengunjungnya. Entah mengapa Joshua menutup klinik lebih cepat dan langsung menariknya pergi ke tempat ini. Tumben sekali.

Namun tidak apa, kegiatan yang ia lakukan disini berhasil menghilangkan kepenatan hari ini. Hari ini pasien klinik ramai sekali membuatnya harus bekerja ekstra.

“Eh Dip, lo mau ini ga?” ujar Joshua sambil menunjuk corndog dihadapannya. Dipta menggeleng, ia sudah kenyang dengan hanya meminum es teh tadi.

“Oke, Mas corndognya satu ya,” ujar Joshua kepada sang penjual.

Dipta berdiri disamping Joshua sambil sesekali meminum es teh ditangannya. Dipta memasukan satu tangannya yang lain kedalam kantong jaketnya.

Pria manis itu sekarang mengenakan jaket kulit dengan kaos hitam sebagai dalaman.

Ia menatap keatas langit karena malam kali ini terlihat indah. Bulan yang bersinar terang mengingatkannya kepada Tristan. Ah, bagaimana kabar lelaki itu sekarang? Apa ia juga merindukannya?

Ting!

Suara notif dari ponselnya membuat lelaki kelahiran febuari itu langsung merogoh ponselnya. Setelah menerima corndog dan membayarnya. Joshua melihat pesan yang dikirimkan sembari memakan corndongnya

Tristan Semua udah beres, tolong ajak Dipta kedepan panggung. Cepat! Soalnya udah mulai ramai panggung sekarang

Joshua tersedak. Dipta melihat temannya yang terbatuk-batuk segera menyodorkan segelas es teh ditangannya.

“Josh? Lu kenapa?!” Joshua berhenti terbatuk. Alih-alih menerima es teh Dipta. Cowok itu malah segera menaruh ponsel di sakunya dan menarik tangan Dipta.

“Acara panggungnya bentar lagi mau mulai. Ayo!” Ucapnya lalu berjalan cepat menuju panggung. Dipta sedikit terjungkal, dan lantas mengikuti arah kaki sahabatnya.


Tristan melihat area panggung yang mulai ramai. Orang-orang sepertinya tertarik dengan aksinya bersama kawannya. Mereka kini tengah menyiapkan drum dan gitar serta mengecek sound dari alat musik tersebut.

Tristan tampak gugup dan sedikit khawatir. Ia belum melihat Dipta sekarang. Oke ia harus tenang, ia harus percaya kepada Joshua.

“Tris.” Panggilan tersebut membuat Tristan menoleh. Terlihat Jonatan sudah bersiap dengan drumnya dan Tama serta Jef dengan gitar elektriknya.

Tristan berjalan kearah mic. Masih mencari-cari keadaan Dipta namun nihil. Pemuda itu belum terlihat juga.

Tristan menghela napas. Semoga Dipta mendengarkan lagu yang ingin ia sampaikan.

“Selamat malam semuanya. Bagaimana kabarnya? Semoga hari ini menyenangkan.”

“Hari ini saya akan menyanyikan sebuah lagu yang dikhususkan untuk seseorang.”

“Dipta, saya tidak tau kamu mendengar saya atau tidak tapi kamu harus tau, kalau saya sangat mencintai kamu.”

Joshua dan Dipta akhirnya tiba. Mereka berada dibarisan paling belakang kerumunan. Dipta membeku, ia sempat mendengar ucapan orang yang sekarang berada dipanggung. Orang yang sangat ia cintai, orang yang ia sukai, orang yang selalu melukiskan kenangan dihidupnya.

“Saya suka kamu dariawal kita bertemu. Dari tatapan kamu, senyuman kamu, perhatian yang kamu berikan. Hingga akhirnya saya yakin bahwa perasaan ini bukan suka, melainkan cinta.”

“Saya sudah terjatuh terlalu dalam Dipta, saya sudah terjatuh kedalam dirimu.”

Tristan menghela napas sebentar, sebelum melanjutkan lagi perkataannya.

“Lagu ini, lagu yang saya bawa malam ini. Adalah perasaan saya ketika saya kehilangan dirimu.”

Tristan menoleh kearah teman-temannya. Memberikan isyarat untuk memulai alunan musik malam ini.

Jonatan lantas memukul drumnya, dan alunan musik pun mulai terdengar. Tristan pun mulai bernyanyi dan menggenggam micnya kuat-kuat.

kau membunuhku dengan kepedihan ini

kau hempaskanku kedalam retaknya hati

hingga air mata tak mampu tuk melukiskan perih

yang kau ukir dalam hati ini

kau hancurkan diriku saat engkau pergi

setelah kau patahkan sayap ini

hingga ku takkan bisa tuk terbang tinggi lagi

dan mencari bintang yang dapat menggantikan mu

sampai kini masih kucoba tuk terjaga dari mimpiku

yang buatku tak sadar bahwa kau bukan lagi milikku

walau hati tak akan pernah Dapat melupakan dirimu

dan tiap tetes air mata yang jatuh kuatkan rinduku

pada indah bayangmu, canda tawamu

pada indahnya duka dalam kenangan kita

sampai kini masih kucoba tuk terjaga dari mimpiku

yang buatku tak sadar bahwa kau bukan lagi milikku

walau hati tak akan pernah dapat melupakan dirimu

dan tiap tetes air mata yang jatuh kuatkan rinduku

pada indah bayangmu, canda tawamu

pada indahnya duka dalam kenangan kita

Suara tepukan tangan menggema. Orang-orang begitu menyukai alunan lagu yang dibawakan Tristan. Mereka semua bersorak riang.

Tristan tersenyum sembari mengatur napasnya. Matanya tak sengaja melihat Dipta yang berdiri dibelakang kerumunan. Pemuda manis itu terdiam dan tersenyum kearahnya. Tristan lantas mengucapkan terimakasih dan turun dari panggung. Berusaha mencari orang yang berada dipikirannya selama ini.

Tristan mencari-cari keberadaan Dipta, hingga akhirnya ia menemukan pemuda manis itu tengah berdiri di hamparan rumput sambil menengadahkan kepalanya. Melihat langit malam yang begitu memanjakan mata.

Tristan menarik napas, dan berjalan pelan kearah Dipta. Berdiri disampingnya dan ikut menengadahkan kepalanya.

“Langitnya indah ya,” ucap Dipta didalam keheningan. Tristan menoleh kearah Dipta yang masih menatap langit. Laki-laki itu menggenggam lembut kedua tangan Dipta yang membuat Dipta menoleh kearahnya.

“Dipta,” ujarnya lembut. “Maaf, harusnya aku lebih jaga kamu. Harusnya aku bisa jagain kamu dengan baik. Maaf aku teledor.”

Dipta terdiam. Tristan sudah tau masalahnya dengan Selina?

“Aku udah tau semuanya. Harusnya aku bisa lebih jaga kamu. Maaf kamu harus kesiksa karena bareng sama aku.”

Lidahnya kelu, Dipta hanya bisa diam dengan matanya yang mulai berkaca-kaca.

Tristan mengusap lembut mata Dipta, membuat air mata yang tertahan akhirnya terjatuh.

“Maaf, jangan nangis. Aku ga suka liat kamu sedih.” Dipta tidak bisa lagi menahan perasaannya. Pundaknya menurun air matanya meluruh.

Tristan segera menyenderkan kepala Dipta kedadanya dan memeluk tubuh itu kedalam hangatnya pelukan.

“Maaf Dipta, maaf,” ujarnya sambil mengusap kepala Dipta pelan. Tristan mengeratkan pelukannya. Seolah-olah takut jika Dipta pergi lagi darinya.

Setelah Dipta merasa sedikit tenang. Tristan melepaskan pelukannya perlahan dan menatap Dipta dengan wajahnya yang sembab.

“Maaf pernah teledor jagain kamu. Aku ga becus jadi pasangan.”

“Dipta, kamu mau mulai dari awal lagi? Mulai kisah kita dari awal. Aku janji akan bikin kamu bahagia.”

Dipta menatap Tristan, ia bisa melihat ketulusan dari mata lelaki itu. Dipta lantas mengangguk-anggukan kepalanya.

“Ya! Aku mau!”

Keduanya tidak bisa lagi menahan senyum. Mereka saling berpelukan dibawah indahnya malam yang menjadi saksi bisu kembalinya pasangan muda itu.

Mereka berjanji untuk saling menjagai, saling mencintai dan saling membahagiakan.

Karena bagaimana pun cinta tau kemana harus pulang dan kembali ke rumahnya.

Ayo ukir lagi kisah kita yang sempat tertunda dan menjadikan diri kita sebagai rumah. Karena kamu adalah rumahku. Sejauh apapun hati ini melangkah pergi pada akhirnya akan kembali juga padamu

• AESTEREID

“Dipta?” gumam Tristan saat melihat objek didepannya. Terlihat seorang pemuda berjas dokter sedang menunggu seseorang didepan toko es krim. Lalu seorang pria keluar dari toko tersebut dan menyodorkan sebuah es krim coklat. Pemuda berjas dokter itu tersenyum lalu menerima es krim itu dan berjalan bersama pria tadi.

“Dipta!” Tanpa pikir panjang Tristan langsung berlari menghampiri orang yang ia yakini adalah Dipta. Menghiraukan Selina yang kini menatap tidak suka dengan hal yang Tristan lakukan.

Dipta terkejut ketika seseorang menarik lengannya. Matanya melotot kaget ketika melihat seseorang yang kini berada dihadapannya.

Itu mantan kekasihnya.

“Dipta, kita harus bicara,” ujar Tristan lalu menarik lengan Dipta untuk mengikutinya. Namun tarikan tersebut tertahan ketika pria lain menarik satu tangan Dipta yang lain.

“Kamu mau ngapain?” ucap Sean sambil menatap Tristan tajam. Merasakan suasana yang mulai tegang membuat jantung Dipta berdegup cepat.

Ini tidak akan seperti yang ada di sinetron 'kan?

“Bukan urusan mu,” ucap Tristan sembari membalas tatapan tajam pria itu.

“Itu menjadi urusan saya. Memangnya kamu siapanya Dipta?”

Ucapan Sean membuat Tristan membeku. Memangnya ia siapa sampai harus seperti ini? Ia hanya orang yang pernah mengukir kenangan dan menjalin kisah bersama Dipta, si pemuda manis yang selalu berhasil menarik hatinya.

“Saya- Temannya”

Ucapan Tristan sempat menggantung. Mengucapkan kata 'mantan' sepertinya sulit baginya.

Sean menaikan satu alisnya. “Kalau temannya kenapa buru-buru seperti ini? Engga liat Dipta lagi jalan sama saya?”

Tristan terdiam, otaknya mendadak tidak berkerja dengan benar, lidahnya kelu.

Melihat Tristan yang diam membuat Sean lantas menarik tangan Dipta membuat cengkraman Tristan terlepas.

Sean segera berjalan pergi tanpa melepas cengkramannya membuat Dipta hanya bisa menoleh kearah Tristan. Cowok itu kini hanya menatap kepergiannya bersama Sean.

Apakah Dipta sudah melupakannya?

• AESTEREID

Jonatan, atau akrab disapa natan kini menatap Tristan dari arah tempat kerjanya. Lelaki itu menyenderkan punggungnya ke kursi sambil menghela napas.

Tristan tampak kacau. Sudah seminggu lebih teman kantornya ini datang terlambat, tidak fokus, dan suka mengeluh. Pipinya bahkan terlihat sedikit tirus karena tidak makan teratur.

Dipta benar-benar bisa mengubah hidup Tristan 180 derajat.

Natan bangkit dari duduknya dan menghampiri Tristan yang sedang berusaha fokus pada pekerjaannya. Lelaki itu menepuk pelan pundak sahabatnya membuat Tristan menoleh.

“Lu kacau, bung,” ujar Natan. Tristan mengacak-acak rambutnya frustasi lalu menopang kepalanya menggunakan kedua tangannya. Tenyata separah ini pengaruh Dipta di hidupnya.

“Lo harus istirahat. Pulang, nanti biar gua yang izin ke Tama,” kata Natan lagi. Kondisi Tristan sudah mengkhawatirkan. Perkataan Natan ada benarnya. Ia harus beristirahat dan menetralkan pikirannya. Sudah seminggu lebih pikirannya kacau, ia bahkan tidak bisa tidur selama beberapa hari.

Tristan menghela napas panjang, lalu mengangguk-anggukan kepalanya. Ia harus pulang dan segera beristirahat. Padatnya pekerjaan dan berakhirnya hubungannya dengan Dipta membuat dirinya seolah kehilangan jati diri.

Ia tidak seperti Tristan biasanya.

Ketika sudah beberes dan meminta izin untuk pulang. Tristan langsung melangkahkan kakinya pergi dari ruangan tersebut.

“Hai Tris.”

Panggilan tersebut membuat Tristan menoleh dan menghentikan langkah kedua kakinya. Tampak seorang wanita berpakaian formal datang menghampirinya.

Wanita itu memakai pakaian khas kantor dengan makeup yang tidak terlalu menor. Rambut cokelatnya dibiarkan terurai. Ditambah lagi senyumnya yang menawan. Wanita itu tampak cantik dan anggun.

“Kamu pulang cepat?” tanyanya sambil melihat penampilan Tristan. Tristan hanya menganggukan kepalanya. Sungguh ia ingin pulang cepat, kepalanya sudah sangat pusing sekarang.

Melihat raut wajah Tristan membuat wanita itu mengerti keadaannya. Wanita itu tersenyum dan berkata “Kayaknya kamu kecapekan, istirahat dirumah ya.”

“Iya, thanks sel,” ujar Tristan sebelum melangkahkan kembali kakinya meninggalkan wanita itu sendirian.

Selina melihat Tristan yang makin menjauh. Senyumnya cantiknya masih belum luntur. Setelah Tristan sudah benar-benar menghilang, wanita itu baru berjalan menuju tempat kerjanya.

Selama berjalan menuju parkiran, orang-orang terus memerhatikan Tristan. Pakaiannya yang acak-acakan, rambutnya yang berantakan, kantong mata yang terlihat membuatnya menjadi perhatian orang-orang. Tidak sedikit yang melihatnya dengan tatapan kasihan. Tapi Tristan tidak peduli, masa bodo soal itu.

Ketika sudah berada dilahan parkiran, lelaki gemini itu langsung masuk dan melajukan mobilnya.

Ditengah kemacetan yang memadati ibu kota, Tristan menyalakan radio mobilnya. Berharap lagu dari radio bisa merubah suasana hatinya.

“Wah cuaca hari ini panas banget ya. Sepanas hati liat dirinya sama yang lain, hahaha. Oke, sekarang kita akan bakal putar lagu yang direquest sama pendengar nih gengs. Duka – last child!”

kau membunuhku dengan kepedihan Ini kau hempaskan aku kedalam retaknya hati ini hingga air mata tak mampu tuk melukiskan perih yang kau ukir dalam hati ini

“Sialan!” umpat Tristan. Lagu ini makin memperburuk suasana hatinya. Mengingat fakta bahwa hubungannya dengan Dipta telah usai membuat Tristan makin murung. Apalagi lagu ini sangat mengutarakan isi hatinya.

Tristan berharap Dipta memberikan satu kesempatan lagi untuknya. Untuk memulai kisah ini dari awal. Mengulang kisah cinta yang sekarang tertunda.

Tapi apa Dipta ingin kembali dengannya?

Tristan menghela napas lalu menyenderkan punggungnya. Membiarkan kursi pengemudi menahan semua beban di tubuhnya. Lelaki itu melihat kearah jendela mobil dan mendadak menegakan badannya.

“Dipta?” gumamnya ketika melihat seorang lelaki tengah dibonceng oleh seseorang. Lelaki itu memakai sweater polos berwarna biru dongker seperti milik Dipta. Apalagi bahu lebar dan rambut hitam legam miliknya membuat ia yakin kalau itu Dipta.

Tristan mengucek kedua matanya, memastikan bahwa apa yang ia lihat itu nyata. Setelah lampu hijau menyala, orang yang memboncemg lelaki yang ber-sweater itu langsung tanjap gas dan pergi.

Tristan terdiam beberapa menit. Masih memikirkan apa yang ia lihat tadi.

Apa itu Dipta? Apa benar-benat dia? Jika benar, tadi dia bersama siapa?

Suara kalson mobil menyadarkannya. Tristan buru-buru menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya.

Di sepanjang perjalanan. Pikirannya berkelana masih memikirkan lelaki yang menyita perhatiannya. Sepertinya ia harus istirahat hari ini. Ia sudah mulai berhalusinasi

• AESTEREID

“Kita putus.”

Ucapan tersebut berhasil membuat jantung Tristan mencelos. Rasanya seperti sebuah tombak berhasil menusuk dadanya.

Kekasihnya tidak memutuskan hubungannya kan?

“Aku gak-”

“Ayo kita udahan, aku capek sama hubungan kita.” Dipta, sang kekasih memotong ucapannya. Kekasihnya memang ingin menyudahi hubungan ini.

Tristan berusaha mengatur emosinya yang menggebu. Sedih, kecewa, marah semua melebur menjadi satu.

“Tapi kenapa? Kenapa mau kita udahan?” tanya Tristan sambil berusaha mengatur emosinya. Raut wajahnya yang kacau sangat terlihat jelas. Dipta dapat melihat betapa hancurnya Tristan. Namun ia juga hancur.

“Kamu ga pernah luangin waktu buat aku, kamu kemana aja? Kamu sering hilang ga ada kabar bikin aku merasa seolah-olah ga punya pacar.” Dipta menghela napas, ia sudah lelah bersabar.

Ia berusaha untuk mengerti Tristan tapi mengapa Tristan tidak mengerti dirinya?

Ia juga ingin egois.

“Aku sibuk banget saat itu, kamu tau kan aku lagi siapin acara buat kantor?” ucap Tristan.

Tidak, ia tidak ingin hubungan ini berakhir. Hubungan yang mereka bangun selama lima tahun dengan segala kenangan didalamnya. Ia tidak akan membiarkan hubungan ini hancur.

“Tapi kamu kemana aja? Seenggaknya kabarin aku, kamu bikin aku khawatir.”

Tristan terdiam, pandangannya tertuju pada raut wajah Dipta. Lelaki manis itu tampak kelelahan.

Ia benar-benar menghiraukan kekasihnya. Menyiapkan acara yang akan diadakan kantornya membuat ia lupa bahwa kekasihnya kini telah merasa terabaikan.

“Kita bisa bicarain itu baik-baik.”

“Ada hal lain yang bikin hubungan kita sampai disini, Tristan.”

Tristan mengernyitkan dahinya. Hal lain? Hal apa?

“Apa?”

Dipta menunduk, ia tak berani membalas tatapan Tristan. Lelaki didepannya ini menatap Dipta penuh tanda tanya. “Aku ga bisa bilang itu, tapi aku mau hubungan kita sampai disini.”

Dipta mendongak, menatap Tristan yang kini tampak kacau. Lelaki manis itu berusaha tersenyum meski hatinya juga sama hancurnya.

“Dipta,” ucap Tristan lirih. Pondasinya seakan-akan mulai hancur. Sedikit demi sedikit tembok pertahanannya mulai roboh.

“Maaf,” ujar Dipta sebelum melangkahkan kedua kakinya meninggalkan Tristan sendirian. Ditengah malam yang dihiasi bintang yang bersinar. Yang kini menjadi saksi bisu usainya hubungan mereka.

Semuanya sudah usai.

• AESTEREID

Foto, kenangan, dan kita

Menikmati sore hari dengan berjalan kaki adalah hal yang Naresh suka. Cuaca yang tidak terlalu panas, dan udara yang mulai sejuk membuat Naresh bisa relax dan melupakan sejenak pekerjaan yang membuat dirinya pusing.

Naresh berjalan mengikuti arah kakinya melangkah. Sampai disatu tempat yang berhasil menghentikan kedua kakinya.

Ah tempat ini, tempat yang begitu banyak menyimpan kenangan

Naresh mengarahkan kamera canon yang ia bawa dan memotret tempat itu. Tempat yang mengingatkannya akan sang pujaan hati.

Naresh berjalan menuju tempat itu. Dinding belakang bangunan sekolah. Terkesan biasa namun dinding itu menyimpan banyak sekali kenangan didalamnya. Naresh dengan perlahan menyentuh dinding yang sudah mulai usang itu. Sudah berapa lama bangunan ini berdiri? Entahlah ia tidak tahu.

Naresh menghela napas, seolah merasakan kembali kenangan manis yang pernah terjadi dimasa lalu. Disini.

Kaki Naresh perlahan menjauh, dan meninggalkan dinding bangunan tersebut.

Dinding yang semakin termakan waktu. Namun tidak dengan kenangannya.

Kaki Naresh kembali berjalan, melangkah entah kemana hingga kaki tersebut berhenti lagi di toko es krim yang sepertinya sudah berdiri cukup lama.

Naresh masuk kedalam toko tersebut dan disambut hangat oleh sang pelayan. Naresh memesan satu es krim coklat dan pelayan tersebut langsung segera memberikannya. Setelah membayar, Naresh keluar dan memfoto toko tersebut bersamaan dengan es krim coklat yang ia beli tadi.

Kaki Naresh kembali melangkah, kali ini melangkah dengan sedikit cepat. Ia ingin pergi ke taman untuk memakan es krim itu.

Taman yang tidak pernah berubah, dan tidak pernah melunturkan kenangannya.

Kakinya berhenti ketika sudah sampai ditempat yang dituju. Matanya beredar memandang tempat yang biasa orang-orang datangi kala pagi.

Tubuhnya ia dudukan di kursi taman yang telah disediakan. Sambil memandang anak-anak yang tengah bermain, lelaki zodiak itu memakan es krimnya yang hampir mencair.

Setelah menghabiskan es krimnya. Lelaki itu menyandarkan punggungnya pada kursi sembari menutup mata dan membiarkan angin sore menerpa lembut wajahnya.

“Aku kangen kamu,” ujarnya. Naresh membuka matanya, lalu mengambil sebuah polaroid yang ia jaga di sakunya. Polaroid itu disampul menggunakan plastik agar tidak rusak. Naresh sungguh menjaga benda mungil itu.

Karena benda itu sangat berarti baginya

“Aku kangen kamu,” ujarnya lirih. Polaroid itu ia usap perlahan. Polaroid yang menggambarkan anak laki-laki manis yang tersenyum mengarah kamera. Senyum manis yang tidak akan pernah Naresh lupa. Sampai kapan pun.

“Aku kangen kamu Rendra, kamu kangen aku ga?”

“Kamu lama banget ninggalin aku, aku kesepian.”

“Katanya kamu bakal pergi sebentar. Kenapa lama pulangnya?”

“Kamu ga kangen aku?” ucapnya kepada polaroid seolah-olah benda mati itu bisa menjawab semua pertanyaannya.

“Kamu udah bahagia disana? Udah ketemu mama?” ujarnya lagi.

Renandra Arthaditama atau biasa dipanggil Rendra, terlibat kecelakaan empat tahun lalu yang melibatkan nyawanya. Rendra tertabrak karena diduga sang supir tengah mengebut hingga menabrak si mungil dan membuat tubuhnya terpental beberapa meter.

Naresh yang mendengar kabar itu seketika hancur, dunianya kini telah runtuh. Orang yang ia cintai pergi untuk selamanya. Satu-satunya orang yang menguatkannya kala ia terjatuh kini tidak akan kembali.

Dunia Naresh menjadi gelap. Kesuraman dan kesedihan meliputi dirinya. Namun ia tidak boleh seperti ini terus, ia harus bangkit. Dan akhirnya usahanya berhasil meski tanpa sang pujaan hati.

Dunianya kembali berwarna, namun tidak sempurna. Karena sebagian jiwanya telah pergi.

“Aku kangen kamu, saking kangennya aku mau nyusul kamu tapi kamu pasti bakal marah.” Naresh tersenyum dan mengusap lembut polaroid itu.

“Aku masih inget waktu aku nembak kamu di belakang sekolah. Waktu itu kamu keliatan bahagia banget padahal aku nembak kamu dengan cara yang engga romantis. Aku masih inget banget waktu kamu peluk aku, dan bilang kalau kamu milik aku.”

Naresh berusaha mengatur napasnya. Perasaan rindu ini sungguh menyesakkan.

“Aku juga inget toko es krim yang sering kita kunjungi. Kamu suka es krim coklat kan? Aku tadi makan es krim kesukaan kamu loh.” Naresh terkekeh pelan, mengingat kejadian lucu yang sampet terjadi di toko es krim tersebut.

“Aku inget banget dulu saat es krimnya kena hidung kamu. Waktu itu kamu marah-marah soalnya aku sengaja kotorin hidung kamu pakai es krim. Kamu keliatan serem sekaligus gemes pas itu.”

Matanya kini memandang sekitar taman yang mulai sepi pengunjung. Orang-orang sudah pulang karena hari sudah mulai malam.

“Dan tempat ini. Tempat kencan pertama kita, tempat ciuman pertama kita, dan tempat dimana pertama kali kita bertemu.”

“Aku inget pas itu aku ga sengaja nabrak kamu karena dikejar Haikal, kamu pas itu judes banget. Keliatan galak, tapi ternyata sifat kamu kayak bayi.”

Naresh kembali menatap polaroid tersebut, air mata mendadak jatuh tanpa persetujuan. Lelaki itu segera menghapus air matanya, ia tidak ingin terlihat lemah.

“Mas kangen bayinya mas,” ucapnya sambil tersenyum. Air mata kembali berjatuhan, kini ia tidak bisa lagi menahan sesaknya.

“Mas kangen bawelan kamu, mas kangen ngambeknya kamu, mas kangen senyuman kamu.”

Perasaan sesak ini mengudara, ia tidak bisa melawan takdir tuhan. Ia tidak bisa menyalahkan takdir, ia tidak bisa berbuat apa-apa karena bagimanapun dunianya tidak akan bisa kembali.

Naresh berusaha tersenyum, ia harus tersenyum karena lelaki mungilnya akan marah jika ia terus-terusan bersedih.

“Aku bakal ngunjungin kamu di hari jumat. Aku kangen.” Naresh mengecup polaroid tersebut, ia tidak peduli ia dibilang gila oleh orang yang melihatnya. Masa bodo dengan hal itu.

“Sering-sering dateng ke mimpi aku ya? Disana kita bakal ketemu dan ngelakuin banyak hal.”

Naresh tersenyum dan memandang foto itu dalam-dalam.

“Aku bakal pulang pada waktunya. Karena gimana pun kamu rumah aku, sampai kapan pun kamu akan tetap jadi rumahku.”

• AESTEREID