Dia yang tak percaya bahwa kehadiran mereka nyata
“Turut berbelasungkawa,” ucap pria berkulit tan sambil menunduk. Pria itu kembali memandang televisi kecil di pojok cafe yang menayangkan berita seputar kasus pembunuhan. Sang reporter menjelaskan dengan rinci dan jelas bagaimana kasus pembunuhan itu dari sisi pihak kepolisian.
“Korban diketahui kehabisan darah diduga karena tubuhnya dibiarkan semalaman. Tapi polisi masih menginvestigasi lebih dalam mengenai kasus ini. Mari berdoa agar kasus ini cepat terselesaikan dan sang pelaku segera tertangkap.”
Perkataan sang reporter membuat tubuh Harvian sedikit meremang. Dalam sebulan ini sudah terjadi dua kasus pembunuhan di kotanya dan dua korbannya memiliki akibat kematian yang sama. Kehabisan darah.
“Begitu menyeramkan! Bagaimana bisa ada dua kasus dengan kematian yang sama?!” ujar Harvian sambil memukul meja pelan.
“Mungkin sang pelaku psikopat?” ucap Raska, pemuda manis yang duduk berhadapan dengannya.
“Tapi apa tidak aneh? Mereka sama-sama kehabisan darah.” Seorang pria lain ikut berucap setelah mendengar perkataan mereka.
“Apa jangan-jangan mereka tewas karena vampir?” ujar lelaki lainnya yang mampu didengar oleh Raska.
“Jangan konyol, vampir itu tidak ada,” pangkas Raska sambil memandang pemuda yang tampaknya masih berumur belasan.
Tak terima dengan ucapan Raska, pemuda itu langsung menyampaikan pendapatnya. “Tapi menurut mitos di kota ini vampir itu nyata! Nenek ku saja pernah bertemu langsung dengan vampir!”
“Itu nenek mu, pasti dia mengarang!”
Perdebatan antara Raska dan pemuda itu tak kunjung mereda, malah perdedatan antar keduanya kian memanas. Pemuda itu masih saja meyakinkan kalau makhluk mitologi itu nyata sementara Raska masih berpegang teguh dengan keyakinannya.
Harvian berusaha menenangkan keduanya. Suasana cafe menjadi agak riuh karena perdebatan yang tak kunjung reda. “Hey sudahlah, jangan bertengkar!”
Harvian kesal dengan orang-orang yang berada di cafe ini. Apa mereka tidak berniat melerai keduanya?
Mengapa para pengunjung tidak membantunya untuk menenangkan dua orang ini? Mengapa para penggawai dan pemilik hanya diam dan melihat mereka berdua bertengkar?
“Sudahlah Ras, tenanglah.” Harvian berusaha menenangkan Raksa yang masih beradu mulut dengan orang itu. Hingga akhirnya mereka berdua bisa diajak berkerja sama dan saling berdamai.
Sungguh konyol, berdebat hanya karena beragumen vampir nyata atau tidak.
Harvian dan Raska akhirnya keluar dari ruangan beraroma kopi tersebut. Sepoian angin sore menerpa tubuh keduanya, menghantarkan suasana sejuk yang mampu menenangkan hati.
Raska menarik napas, berusaha menenangkan dirinya yang masih terasa panas akibat perdebatan tadi. Sejuknya angin sore berhasil menenangkan dirinya yang tadi berapi-api.
“Aku muak, kenapa orang-orang selalu mengaitkan sesuatu dengan mitos atau legenda? Jaman sudah modern dan mereka masih mengaitkan sesuatu dengan hal kuno seperti itu.” Rasanya Raska ingin meluapkan semua isi pikirannya.
Sudah dua minggu ini tidak sedikit orang disekitarnya berbicara tentang vampir, vampir, dan vampir. Di kantor tempatnya berkerja, di area perumahan tempat tinggalnya, di cafe bahkan di halte pun orang-orang berbicara tentang makhluk penghisap darah itu. Itu membuatnya kesal!
Yang membicarakan hal itu biasanya anak muda yang masih berumur belasan. Mereka percaya bahwa makhluk mengerikan itu nyata dan penyebab atas kejadian pembunuhan yang terjadi di kota ini. Namun tidak sedikit pula orang yang sudah berumur yang percaya dengan mitos tersebut.
Untuk orang yang tidak percaya hal supranatural seperti Raska akan menganggap hal itu hanya omong kosong dan dongeng semata. Namun mendengar gosip itu terus-terusan membuat Raska makin kesal. Ia yang awalnya diam menanggapi gosip itu lama kelamaan menjadi muak dan marah.
Hanya karena korban meninggal dengan kehabisan darah mereka langsung berpikir bahwa makhluk mitologi itu yang melakukannya? Ingin rasanya Raska berteriak dan berkata bahwa vampir itu tidak nyata.
Harvian menghela napas lalu menepuk pundak sang sahabat. Ia tau pasti bahwa sahabatnya sudah muak mendengar gosip seperti itu.
“Pendapat orang berbeda-beda, Raska. Mungkin saja pemuda itu memang memercayainya.” Perkataan Harvian sontak membuat Raska menekukan bibir. “Tapi itu konyol!”
“Sudahlah biarkan saja,” ujar Harvian. Temannya ini memang keras kepala. Pendapat orang berbeda-beda ia tidak bisa selalu membenarkan pendapatnya.
Raska mendengus sebal. Ia masih kesal dengan orang yang berdebatnya tadi.
Raska memejamkan matanya dan menghela napas. Berusaha menenangkan dirinya yang masih terasa gerah. Ia menghirup dalam-dalam angin sore yang menyejukkan dan melihat sekitarnya. Orang berlalu-lalang kesana kemari untuk pulang karena hari sudah mulai gelap. Pikirannya berkelana, ia harus melupakan kejadian tadi.
Hingga dipertigaan jalan ia berpisah dengan sahabatnya, Harvian. Rumah mereka memang berada dijalan yang berbeda namun masih terbilang berjarak dekat.
Raska berjalan menuju rumahnya yang berada diujung jalan. Rumah kecil nan hangat namun nyaman untuk ditinggali.
Raska memasukan kunci ke lubangnya dan membuka pintu berwarna putih yang sudah berumur cukup lama. Ia lantas merebahkan tubuhnya di sofa, tidak lagi memedulikan tas dan sepatunya yang ia taruh sembarangan. Yang ia pikirkan sekarang adalah cara mengistirahatkan tubuhnya.
Raska menghela napas dan mengambil ponsel di sakunya. Melihat pesan yang belum sempat ia baca karena dirinya sibuk dengan perkerjaannya.
• AESTEREID