pelukan di jam sebelas malam
Jujur saja, keluar rumah diatas jam 10 malam bukan kebiasaan lelaki yang kini tengah memanaskan motor hitam di halaman depan rumahnya.
Biasanya jam segini Mahesa sudah berada di dalam rumah dan memilih untuk belajar atau bermain game hingga sang fajar tiba. Baginya keluar sampai larut malam itu buang-buang waktu, boros bensin dan tenaga. Makanya Mahesa selalu pulang tepat waktu ketika sedang berkumpul dengan teman-temannya.
Si Leo keluar dari pintu rumah sambil membawa paper bag yang entah berisikan apa. Dengan memakai hoodie berwarna abu-abu dan celana pendek yang panjangnya selutut. Mahesa menaiki motornya dan menjalankan kendaraan yang identik dengan roda duanya itu.
Entah apa yang membuat Mahesa rela keluar di jam 11 malam. Namun baginya, seperti ada sesuatu yang harus segera diselesaikan.
Seperti apa yang diminta Mahesa, Ares kini tengah duduk di sofa ruang tengah sambil menyalakan televisi untuk menciptakan suasana ramai bangunan yang berdominan cat berwarna putih ini.
Si Aries menghela napas. Rumahnya benar-benar terasa hening. Ayahnya kerja di luar kota dengan membawa adiknya dan kakaknya yang kuliah di jogja membuat Ares merasa kesepian karena harus tinggal di dalam rumah ini.
Tidak ada siapa-siapa disini kecuali dirinya. Tidak ada pembantu yang diperkerjakan, tidak ada pula satpam yang bertugas, membuat Ares benar-benar tinggal sendirian di rumah yang sudah berumur ini.
Berbekal tekad dan keberanian. Lelaki kelahiran maret itu memutuskan untuk mengumpulkan uang tabungannya agar bisa menyewa kamar kos jika ia sudah merasa tidak betah tinggal di rumah sendiri.
Bayangkan saja, di dalam rumahmu sendirian, sepanjang hari, sepanjang malam. Dengan memori buruk yang tersimpan disana. Apakah kau tahan dengan semua bayang-bayang yang menghantui mu?
Belum lagi bayangan sang ibunda yang telah tiada terus menerus terbayang di dalam benaknya. Bayangan senyum dan tawa ibunya, pelukan serta usapan hangat yang biasa diberikan ketika lelaki itu sedang bersedih kini hanya sekedar memori yang tersimpan rapat di ingatannya.
Ares tak bisa lagi merasakannya, ia tidak bisa lagi merasakan langsung bagaimana kasih sayang ibu ketika ia sudah beranjak dewasa.
Ketika anak itu sedang bersedih karena dunia yang terasa begitu kejam padanya, tidak ada lagi tempat berpulang untuk mengeluarkan isi hatinya.
Tidak ada lagi tempat ia mengadu ketika semesta menghantamnya dengan kenyataan yang begitu menyakitkan
Tidak ada lagi pelukan serta nasehat hangat yang membangun pondasi agar ia terus berdiri tegap.
Semua hilang, dan Ares rindu akan perasaan itu.
Ares menghela napas. Ia melihat sekelilingnya, melihat seberapa hampa ruangan yang ia tempati sekarang. Suara keras yang keluar dari televisi tak mampu meredam rasa kesepian yang selama ini lelaki alami.
“Ares?” Suara lembut itu membuyarkan lamunan Si Aries. Sadar bahwa dirinya dipanggil membuat Ares segera mengusap wajahnya lalu beranjak menuju pintu yang kini tengah menjadi penghalang antara ia dan Mahesa.
“Apa?” ucap Si Maret setelah membukakan pintu. Dihadapannya kini terlihat Mahesa sedang tersenyum sambil menyodorkan sebuah paper bag di tangannya.
“Ini, gue bikinin salad. Kalau masih laper dimakan ya? jangan makan junk food terus. Gak bagus,” ucap si lelaki agustus.
Ares sempat diam beberapa saat sampai akhirnya menerima tas yang lelaki itu berikan.
“Res, gue minta maaf sempet gak liat lo di lapangan tadi. Gue mau samperin lo, ternyata lo udah pulang sama Tara.” Mahesa memulai percakapan antar keduanya.
Mata Si Leo menatap Ares dengan tatapan teduh, lelaki itu terdengar tulus ketika menyampaikan permintaan maafnya. Mahesa tersenyum dan kembali berkata, “Kalau lo udah ada di lapangan panggil nama gue aja ya? Panggil nama gue tiga kali pasti gue bakalan langsung nengok kok.”
Ares tidak tahu apa yang ia rasakan setelah mendengar penuturan si agustus. Hatinya terasa hangat, kehampaan yang awalnya mengisi ruang kosong di hatinya mendadak diisi oleh bunga yang membuat Ares merasa aliran dalam daranya mengalir sangat cepat. Menciptakan rasa aman dan nyaman membuat Ares merasa tubuhnya ikut menghangat.
“Abis ini tidur ya, cil. Maaf kalau gue ganggu lo di jam segini. Habis ini gue bakal langsung pulang kok,” ucap Mahesa sambil menunggu jawaban di Si Maret.
Yang lebih muda tampak diam, Ares belum mengeluarkan sepatah kata apapun dari mulutnya. Sampai pada akhirnya ranum merah itu bergerak, membuat Mahesa sukses merasa kembang api sedang menyala dalam dirinya.
“Gue kangen lo hari ini, kangen pat-patnya juga,” ucap Ares pelan sambil memandang Mahesa dengan sedikit keraguan. Ia takut jika Mahesa bertindak diluar ekspektasinya.
Namun siapa sangka, lelaki Leo itu malah tersenyum dan lantas menepuk-nepuk pelan kepala Ares dan sedikit mengusapnya.
“Lo udah lakuin yang terbaik hari ini,” ucapnya sambil terus mengusap pelan rambut hitam Ares.
Lelaki kelahiran bulan maret itu memejamkan mata, menikmati perasaan nyaman ketika tangan Mahesa membelai rambutnya. Namun beberapa detik setelahnya Ares merasa bahwa badannya terasa memberat, seperti ada sesuatu yang bersandar ke tubuhnya.
Di detik berikutnya lelaki itu membuka mata dan mendapati Mahesa kini tengah memeluk tubuhnya.
Ares membeku, otaknya mendadak tidak bisa memproses apa yang sedang terjadi hingga akhirnya ia merasa bahwa ada sebuah tangan yang sedang mengelus punggungnya pelan.
“Tidur nyenyak malam ini ya?” Suara lembut Mahesa menerpa indra pendengarannya. Ares menghela napas panjang lalu balas memeluk punggung tegap lelaki kelahiran agustus. Kepalanya ia sandarkan ke bahu lebarnya. Wajahnya sedikit ia tenggelamkan ke leher Mahesa.
“Lo juga,” ucapnya pelan sambil mengeratkan pelukan.
Di tengah malam yang tidak menampakan bintang, di tengah semilir angin dingin yang menerpa keduanya, kedua anak adam itu saling menyalurkan kehangatan dan perasaan yang mulai terjalin antar keduanya.
Ares sudah menemukan rumah tempatnya berpulang sekarang.
AESTERIED