Photograph

Foto, kenangan, dan kita

Menikmati sore hari dengan berjalan kaki adalah hal yang Naresh suka. Cuaca yang tidak terlalu panas, dan udara yang mulai sejuk membuat Naresh bisa relax dan melupakan sejenak pekerjaan yang membuat dirinya pusing.

Naresh berjalan mengikuti arah kakinya melangkah. Sampai disatu tempat yang berhasil menghentikan kedua kakinya.

Ah tempat ini, tempat yang begitu banyak menyimpan kenangan

Naresh mengarahkan kamera canon yang ia bawa dan memotret tempat itu. Tempat yang mengingatkannya akan sang pujaan hati.

Naresh berjalan menuju tempat itu. Dinding belakang bangunan sekolah. Terkesan biasa namun dinding itu menyimpan banyak sekali kenangan didalamnya. Naresh dengan perlahan menyentuh dinding yang sudah mulai usang itu. Sudah berapa lama bangunan ini berdiri? Entahlah ia tidak tahu.

Naresh menghela napas, seolah merasakan kembali kenangan manis yang pernah terjadi dimasa lalu. Disini.

Kaki Naresh perlahan menjauh, dan meninggalkan dinding bangunan tersebut.

Dinding yang semakin termakan waktu. Namun tidak dengan kenangannya.

Kaki Naresh kembali berjalan, melangkah entah kemana hingga kaki tersebut berhenti lagi di toko es krim yang sepertinya sudah berdiri cukup lama.

Naresh masuk kedalam toko tersebut dan disambut hangat oleh sang pelayan. Naresh memesan satu es krim coklat dan pelayan tersebut langsung segera memberikannya. Setelah membayar, Naresh keluar dan memfoto toko tersebut bersamaan dengan es krim coklat yang ia beli tadi.

Kaki Naresh kembali melangkah, kali ini melangkah dengan sedikit cepat. Ia ingin pergi ke taman untuk memakan es krim itu.

Taman yang tidak pernah berubah, dan tidak pernah melunturkan kenangannya.

Kakinya berhenti ketika sudah sampai ditempat yang dituju. Matanya beredar memandang tempat yang biasa orang-orang datangi kala pagi.

Tubuhnya ia dudukan di kursi taman yang telah disediakan. Sambil memandang anak-anak yang tengah bermain, lelaki zodiak itu memakan es krimnya yang hampir mencair.

Setelah menghabiskan es krimnya. Lelaki itu menyandarkan punggungnya pada kursi sembari menutup mata dan membiarkan angin sore menerpa lembut wajahnya.

“Aku kangen kamu,” ujarnya. Naresh membuka matanya, lalu mengambil sebuah polaroid yang ia jaga di sakunya. Polaroid itu disampul menggunakan plastik agar tidak rusak. Naresh sungguh menjaga benda mungil itu.

Karena benda itu sangat berarti baginya

“Aku kangen kamu,” ujarnya lirih. Polaroid itu ia usap perlahan. Polaroid yang menggambarkan anak laki-laki manis yang tersenyum mengarah kamera. Senyum manis yang tidak akan pernah Naresh lupa. Sampai kapan pun.

“Aku kangen kamu Rendra, kamu kangen aku ga?”

“Kamu lama banget ninggalin aku, aku kesepian.”

“Katanya kamu bakal pergi sebentar. Kenapa lama pulangnya?”

“Kamu ga kangen aku?” ucapnya kepada polaroid seolah-olah benda mati itu bisa menjawab semua pertanyaannya.

“Kamu udah bahagia disana? Udah ketemu mama?” ujarnya lagi.

Renandra Arthaditama atau biasa dipanggil Rendra, terlibat kecelakaan empat tahun lalu yang melibatkan nyawanya. Rendra tertabrak karena diduga sang supir tengah mengebut hingga menabrak si mungil dan membuat tubuhnya terpental beberapa meter.

Naresh yang mendengar kabar itu seketika hancur, dunianya kini telah runtuh. Orang yang ia cintai pergi untuk selamanya. Satu-satunya orang yang menguatkannya kala ia terjatuh kini tidak akan kembali.

Dunia Naresh menjadi gelap. Kesuraman dan kesedihan meliputi dirinya. Namun ia tidak boleh seperti ini terus, ia harus bangkit. Dan akhirnya usahanya berhasil meski tanpa sang pujaan hati.

Dunianya kembali berwarna, namun tidak sempurna. Karena sebagian jiwanya telah pergi.

“Aku kangen kamu, saking kangennya aku mau nyusul kamu tapi kamu pasti bakal marah.” Naresh tersenyum dan mengusap lembut polaroid itu.

“Aku masih inget waktu aku nembak kamu di belakang sekolah. Waktu itu kamu keliatan bahagia banget padahal aku nembak kamu dengan cara yang engga romantis. Aku masih inget banget waktu kamu peluk aku, dan bilang kalau kamu milik aku.”

Naresh berusaha mengatur napasnya. Perasaan rindu ini sungguh menyesakkan.

“Aku juga inget toko es krim yang sering kita kunjungi. Kamu suka es krim coklat kan? Aku tadi makan es krim kesukaan kamu loh.” Naresh terkekeh pelan, mengingat kejadian lucu yang sampet terjadi di toko es krim tersebut.

“Aku inget banget dulu saat es krimnya kena hidung kamu. Waktu itu kamu marah-marah soalnya aku sengaja kotorin hidung kamu pakai es krim. Kamu keliatan serem sekaligus gemes pas itu.”

Matanya kini memandang sekitar taman yang mulai sepi pengunjung. Orang-orang sudah pulang karena hari sudah mulai malam.

“Dan tempat ini. Tempat kencan pertama kita, tempat ciuman pertama kita, dan tempat dimana pertama kali kita bertemu.”

“Aku inget pas itu aku ga sengaja nabrak kamu karena dikejar Haikal, kamu pas itu judes banget. Keliatan galak, tapi ternyata sifat kamu kayak bayi.”

Naresh kembali menatap polaroid tersebut, air mata mendadak jatuh tanpa persetujuan. Lelaki itu segera menghapus air matanya, ia tidak ingin terlihat lemah.

“Mas kangen bayinya mas,” ucapnya sambil tersenyum. Air mata kembali berjatuhan, kini ia tidak bisa lagi menahan sesaknya.

“Mas kangen bawelan kamu, mas kangen ngambeknya kamu, mas kangen senyuman kamu.”

Perasaan sesak ini mengudara, ia tidak bisa melawan takdir tuhan. Ia tidak bisa menyalahkan takdir, ia tidak bisa berbuat apa-apa karena bagimanapun dunianya tidak akan bisa kembali.

Naresh berusaha tersenyum, ia harus tersenyum karena lelaki mungilnya akan marah jika ia terus-terusan bersedih.

“Aku bakal ngunjungin kamu di hari jumat. Aku kangen.” Naresh mengecup polaroid tersebut, ia tidak peduli ia dibilang gila oleh orang yang melihatnya. Masa bodo dengan hal itu.

“Sering-sering dateng ke mimpi aku ya? Disana kita bakal ketemu dan ngelakuin banyak hal.”

Naresh tersenyum dan memandang foto itu dalam-dalam.

“Aku bakal pulang pada waktunya. Karena gimana pun kamu rumah aku, sampai kapan pun kamu akan tetap jadi rumahku.”

• AESTEREID