si yang kamu anggap tak pernah ada
Terletak di ujung negara dengan lingkungan yang asri dan menyejukkan menjadikan kota yang dikenal dengan sebutan 'kota seribu hijau' sebagai salah satu tempat impian bagi dia yang ingin merasakan kedamaian.
Tempatnya yang tidak terlalu ramai dengan semua fasilitas yang terpenuhi, dimulai dari toko, kantor pos, bahkan rumah sakit membuat kota ini menjadi destinasi impian semua orang.
Kota yang dulunya damai dengan segala aktivitas warganya yang terbilang 'normal' mendadak berubah menjadi sedikit mencekam.
Dua berita tidak mengenakan terdengar sampai ke telinga warga, mengalihkan atensi masyarakat, membuat mereka yang awalnya merasa aman dan tentram menjadi sedikit waspada akan keadaan.
Peristiwa pembunuhan beruntun terjadi, tepat dua hari yang lalu mayat seorang perempuan berumur kepala tiga ditemukan tergeletak dipinggiran perbatasan antara hutan dan perkotaan.
Para warga berspekulasi, ada yang berkata bahwa itu adalah ulah binatang buas dan sebagian lainnya berpendapat kalau itu terjadi karena ulah kejahatan manusia.
Sampai detik ini polisi masih menyatakan bahwa kasus perempuan itu adalah sebuah kasus pembunuhan.
Namun sepertinya masyarakat tidak dibiarkan untuk tenang sejenak.
Berita serupa terjadi lagi. Jasad seorang pria ditemukan di area gelap jalanan sepi dekat area gedung pembangunan yang sayangnya gagal beroperasi akibat kurangnya pondasi dan biaya.
Dua jasad itu ditemukan memiliki pola yang serupa. Keduanya berwajah pucat, darah mereka kurang dari yang semestinya, serta area leher dan bahu terkoyak parah membuat para investigator mengira bahwa ini adalah ulah pembunuh berantai.
Raska menghela napasnya berat, melihat berita yang terpampang di televisi cafe membuatnya berpikir untuk mulai berkerja cepat agar tidak pulang larut malam.
Kondisi mulai berbahaya, ia harus memasang kunci ganda di pintu rumahnya untuk mencegah aksi kriminal yang menimpanya.
“Berhati-hatilah, Raska. Jangan pulang sendirian,” ujar Haries yang menyaksikan berita tersebut sambil menyesap kopi pesanannya.
“Sepertinya kita harus sering pulang bersama setelah berkerja.” Haries mengangguk tanda setuju akan perkataan sahabatnya.
“Tidakkah kau berpikir bahwa ini adalah ulah mereka?”
Si Aries menoleh, mendengar gerombolan anak muda yang sedang membahas berita itu membuat Raska tertarik akan obrolan mereka.
“Maksudmu?” tanya Raska kepada perempuan yang tadi berbicara.
Si perempuan menjawab, “Mereka, mereka para vampir. Tidakkah kau berpikir ini adalah ulah mereka?”
“Oh ayo lah, zaman sekarang kau masih berpikiran seperti itu? yang benar saja.” Perkataan Raska mengundang perhatian orang di sekitarnya. Terlihat lelaki Maret itu menatap sinis perempuan yang kini tengah berdebat dengannya.
“Tidakkah kau melihat beritanya? Mereka memiliki ciri yang sama, mereka sama-sama kehabisan darah. Siapa makhluk yang menghisap darah selain vampir?” ucap perempuan itu tak mau kalah membuat Raska menjadi sedikit jengkel.
“Mereka yang kamu sebut tidak nyata. Kau harus mengurangi imajinasi aneh yang ada didalam kepalamu.” Raska berhasil membuat gadis itu terdiam. “Untuk ukuran anak muda sepertimu seharusnya kau tidak bersikap bodoh dalam hal seperti ini.”
Si Aries berdiri dengan kasar, membuat kursi yang ia duduki mengeluarkan suara nyaring karena bergesekan dengan lantai yang terbuat dari keramik.
Kakinya melangkah, diikuti oleh Haries yang berjalan dibelakangnya. Si Maret pergi meninggalkan tempat serta orang-orang yang sedari tadi memperhatikannya.
“Bisa-bisanya ada seseorang yang berpikir seperti itu ditengah era yang sudah maju sekarang.” Sambil berjalan, Raska menendang batu yang ia temukan di trotoar dengan kasar. Melampiaskan rasa kesalnya karena perdebatan kecil antara ia dan gadis berambut pirang tadi.
“Sudahlah biarkan saja, jangan dipikirkan,” ucap Haries berusaha menenangkan sang sahabat.
“Tapi itu konyol! Bisa-bisanya mereka mempercayai adanya vampir yang hidup di kota ini!” ujar si Maret cukup keras. Ia sudah muak mendengar ocehan orang-orang.
Raska termasuk orang yang tidak percaya bahkan menentang mitos yang beredar di masyakarat. Baginya makhluk seperti putri duyung, peri atau bahkan unicorn hanya dongeng yang diciptakan agar anak-anak tidur dengan nyenyak.
Termasuk vampir yang menjadi bahan pembicaraan mereka saat ini.
Ah, vampir tak mungkin nyata. Itu hanya akal-akalan orang saja agar ceritanya laris dan menjadi buah bibir masyarakat.
“Jadi kau termasuk orang yang tidak mempercayai kehadiran mereka?”
Suara berat itu berhasil mengalihkan perhatian si Aries. Raska menoleh kesana kemari, mencari siapa yang berkata barusan hingga akhirnya siluet matanya menangkap sesosok pria berkemeja ungu dengan pola kotak-kotak sedang duduk membaca koran didepan toko roti milik nyonya Tasha.
Pria itu memiliki rambut hitam serta terlihat berperawakan tinggi yang membuat Raska berpikir bahwa pria ini seumuran atau bahkan sepertinya berusia lebih tua darinya.
“Kau berbicara denganku?” ucap Raska kepada pria itu untuk memastikan.
“Siapa lagi selain kau yang berbicara tentang makhluk penghisap darah di sekitar sini?” jawab pria itu tanpa mengalihkan pandangannya.
Lelaki berbadan tegap itu masih memperhatikan koran yang ia baca. Bahkan sekali-kali terlihat pria itu menggerakkan korannya agar lebih nyaman membaca.
Si Aries memutar bola matanya. Orang bodoh lagi, batinnya.
Kaki Raska melangkah, berniat untuk meninggalkan pria itu sampai akhirnya sebuah kalimat keluar dari bibir si pria menjengkelkan.
“Jawab pertanyaanku, pendek.”
Raska mengepalkan tangannya, ia menatap pria yang kini dengan santainya duduk sambil menyilangkan kaki jenjangnya.
“Apa kau bodoh? Tentu tidak, sialan.” Mendengar perkataan yang keluar dari mulut sang sahabat membuat Haries menahan napas. Sungguh berani tingkah temannya yang langsung memaki pria tak dikenal ini.
Lelaki berambut hitam itu menutup korannya. Dengan langkah pasti, ia berjalan kearah Si Aries dan berhenti tepat dihadapannya. Raska terdiam, melihat mata bulat berwarna hitam itu membalas tatapannya membuat si lelaki kelahiran maret merasa sedikit ciut.
Suasana mendadak terasa sedikit tegang dan Raska merasa agak terintimidasi.
“Jaga bicaramu, tuan sok tahu. Mereka yang kau sebut sebagai vampir itu nyata, dan jika kamu sadar, mereka sedang berada disekitar mu sekarang,” ucap lelaki itu yang diakhiri dengan senyuman miring yang membuat Raska menahan mati-matian keinginannya untuk memukul kepala pria yang kini berjalan pergi meninggalkannya.
Dasar keparat.
AESTEREID