The Sun

tw// mention of bullying

“Dasar miskin! Matilah bersama kedua orang tua mu!” Perkataan menyakitkan dan gelak tawa merendahkan mereka keluarkan untuk anak berkaca mata tak berdosa yang mereka rundungkan.

Membuat anak lelaki itu merasa terpojok, terjatuh, bahkan berpikir untuk mengakhiri segalanya dan ikut mati menyusul kedua orang tuanya yang meninggalkannya sebatang kara di dunia yang penuh kekejaman ini.

Lelaki itu menunduk dan mengepalkan kedua tangannya. Ia sudah terbiasa seperti ini, direndahkan, dimaki, dijadikan sebagai pembantu untuk berbuat ini itu. Itu semua adalah makanan sehari-hari pemuda malang bernama Lee Minhyung ini.

Pemuda malang yang ditinggalkan sebatang kara untuk bertahan hidup di dunia yang fana nan kejam, dipaksa untuk terus bertahan meski dinding pertahanannya mulai goyah dan hancur. Dunia terlalu kejam untuk orang bernasib malang seperti Minhyung.

“Hey kutu buku! Kerjakan pekerjaan ini untuk ku.” Buku terlempar dengan sangat tidak sopan ke kepala pemuda itu. Gelak tawa lagi-lagi terdengar. Tawa remeh yang sangat merendahkan pemuda bermarga Lee tersebut.

“Ambil buku ku bodoh!” Pemuda yang melempar buku tadi menatap Minhyung yang masih bergeming tak bergerak, ia hanya diam dan tidak menggubris perkataan lelaki itu.

“Ku bilang ambil sialan! Kau tuli?!” Melihat Minhyung yang tak kunjung bergerak membuat pemuda itu geram dan lantas turun dari meja yang ia duduki dan mendorong kasar Minhyung hingga lelaki itu terjatuh dari kursinya.

“Kau tuli hah?! Dasar Miskin! Sudah tuli tidak mau mendengar perkataan orang!” Pemuda itu mencengkram erat kerah Minhyung hingga lelaki kelahiran agustus itu kesulitan bernapas.

Bukannya meleraikan kedua pemuda yang sedang bertengkar itu, murid lain hanya menyaksikan keduanya. Tidak ada sedikit pun dari mereka yang berniat untuk membantu Minhyung yang sekarang kesulitan bernapas. Mereka takut berurusan dengan Lee Jeno, seorang anak yang berasal dari seorang pengusaha kaya yang memiliki banyak kekuasaan disekolah ini bersama dengan kawannya yang juga memiliki kuasa diatas mereka.

“Kau ingin ku hajar, sialan?!” teriak lantang pemuda itu sampai urat dilehernya mulai terlihat.

“Hajar saja dia Jeno! Dia pantas mendapatkan itu!” ujar Hyunjin menyemangati Jeno agar menghajar Minhyung habis-habisan.

“Jangan lakukan itu Jeno, kasihan dirinya. Ia pasti tidak akan memiliki biaya untuk mengobati lukanya.” Sungchan tersenyum sambil memandang rendah Minhyung yang masih berada di cengkraman si Lee itu.

Ketiganya lantas tertawa dan Jeno melepaskan cengkramannya pada kerah baju seragam Minhyung. “Aku tidak akan mengajar mu hari ini, Lee. Jika kau ku hajar, maka kau tidak akan lagi bisa menjadi budak ku, hahahaha.”

Dengan naif nya semua orang dikelas itu tertawa, menertawakan kemalangan pemuda Lee atas nasib sialnya yang selalu saja melingkupi dirinya. Minhyung tidak bisa berbuat apa-apa, jika ia melawan dan membuat masalah maka beasiswa yang ia perjuangkan mati-matian bisa dicabut dan masa depan yang ia susun sedemikian rupa hancur melebur.

Dia hanya diam ketika tawa dan tatapan merendahkan ditorehkan untuknya. Remehan dan celaan sudah menjadi hal yang biasa baginya. Ia tidak bisa melawan mereka yang memang kedudukannya jauh diatas dirinya yang rendah.

“DASAR KAU BAJINGAN LEE JENO!” Semua orang mendadak terdiam ketika suara makian itu menggema di ruang tempat mereka belajar.

Tatapan mereka semua mengarah pada pemuda mungil yang dengan beraninya melantangkan makian khusus untuk seorang Lee Jeno, sang penguasa tertinggi sekolah.

“Apa yang kau bilang?!” Tak terima dengan makian itu, sontak Jeno menatap tajam pemuda yang kini membalas tatapannya dengan berani. Tatapan mematikan mereka saling beradu, suasana kelas menjadi tegang karena kedua kubu terlihat sangat sengit dan tidak mau mengalah.

“Kau bajingan Lee Jeno! Bisa-bisanya kau merundung siswa tak bersalah!” Dengan beraninya siswa itu meneriaki isi hatinya. Tidak peduli dengan nasib yang akan ia terima, yang terpenting adalah ia bisa membela kebenaran di sekolah penuh kebusukan ini.

“Siapa kau mengatur ku, Huang?” ucap Jeno penuh penekanan. Tatapan tajam nan mengerikan ia berikan untuk pemuda mungil bernama Huang Renjun, pemuda yang dengan beraninya menantang si bertahta tertinggi sekolah.

“Dasar tidak tau aturan! Aku akan melaporkan mu pada pihak sekolah.” Si mungil sudah geram, kesabarannya melihat tingkah brengsek Lee Jeno sudah habis. Dan kini ia bernekat untuk menantangnya meski tau kosekuensi besar yang akan ia dapatkan.

“Cih, kau ingin bernasib sama seperti pecundang ini?” Jeno melirik Minhyung masih belum beranjak bangun. Pemuda itu masih jatuh terbaring sambil memandangi pemuda huang yang membelanya dengan berani.

“Sepertinya kau cocok dengan si Lee ini.” Jeno menendang dengan keras tulang kering lelaki itu hingga ia mengerang kesakitan.

Jeno dan kedua temannya kemudian tertawa, melihat Minhyung yang tertindas adalah kesenangan duniawi bagi mereka. Mereka puas dengan perbuatan bejat dan semena-mena yang mereka lakukan kepada pemuda tak bersalah yang mereka jadikan sebagai ajang perundungan.

“Kau beruntung hari ini, Lee. Berterimakasihlah pada kekasih mu karenanya aku tidak jadi menghajarmu hari ini.” Si penguasa dan temannya dengan santainya berjalan keluar sambil tersenyum puas.

Sebelum keluar kelas, pemuda kelahiran april itu menyenggol bahu si maret sambil berucap. “Awas kau, Huang.”

Renjun mengepalkan kedua tangannya. Ia sudah muak dengan kebusukan yang berada disekolah ini. Pemuda mungil itu lantas memasuki kelas dengan cepat dan menghampiri Minhyung yang sedang berusaha bangkit.

“Kau tak apa? Apa mereka menyakitimu?” tanya si manis sambil membantu Minhyung untuk bangun. “Aku tidak apa. Terimakasih sudah membantu ku.”

Renjun tersenyum lalu membantu Minhyung membersihkan pakaiannya yang sedikit kotor karena terjatuh dilantai yang kurang bersih.

“Jika si bajingan itu berbuat macam-macam melawan saja, Lee. Kau tidak bisa hanya diam jika bajingan itu merendahkan mu.” Minhyung mengusap tengkuknya.

Ia berharap ia bisa melawan si brengsek Lee tapi entah mengapa ia belum punya cukup nyali untuk melawan. Ia merasa bahwa seseorang yang berada dibawah sepertinya tidak akan sanggup menentang si tahta paling atas.

Bell sekolah berbunyi, pelajaran pertama akan segera dimulai. Si pemuda huang itu lantas melihat kearah jam dinding. Guru pelajaran pertamanya akan segara datang.

Renjun menoleh kearah Minhyung dan tersenyum memandangi pria itu dan entah mengapa membuat degup jantung Minhyung berdegup kencang ketika pemuda itu memberikan senyuman manis kepadanya.

“Pelajaran pertama akan dimulai, aku pergi dulu. Ingat kata ku, Minhyung. Jika mereka menindas mu lawan saja.” Setelah berpamitan, Renjun melangkahkan kakinya keluar kelas dan berjalan menuju kelasnya.

Meninggalkan Minhyung yang masih terpana. Senyum merekah diwajahnya, ia bersyukur sekali pada tuhan bahwa ada seseorang yang mengulurkan tangannya, untuk membantunya naik dari jurang meski mungkin hanya satu langkah.

Terimakasih, tuhan. Kau mendatangkan matahari untuk ku, batin Minhyung tanpa melunturkan senyumnya.

• AESTEREID