AESTEREID

Ares melangkahkan kakinya menuju lorong yang menghubungkan antara ruang tata usaha dengan lapangan belakang sekolah. Sesuai dengan apa yang Mahesa minta, ia datang ketika waktu pulang sekolah telah tiba.

Kalau boleh jujur, suasana hati Ares sekarang masih agak buruk hari ini. Kalah dalam taruhan sekaligus perdebatannya dengan sang kakak tertua menjadi alasan utama ia bermuka masam seharian. Perasaannya kemarin sangat kacau namun untungnya berangsur membaik seiring berjalannya waktu.

Namun hal itu bukan berarti perasaannya benar-benar sudah membaik. Masih terselip rasa kesal yang membuatnya menjadi bad mood seharian.

Saat sampai di lapangan yang dimaksud, mata tajamnya menangkap sesosok lelaki yang kini sedang berdiri dengan tas yang berada di salah satu bahunya, seragam sekolah lelaki itu masih lengkap, ia tampak sedang memegang ponsel di tangannya.

Ares menghela napas, sembari menaruh kedua tangannya di saku jaket berwarna merahnya. Lelaki itu melangkahkan kakinya untuk menghampiri sosok tersebut.

Mahesa sempat menoleh sebentar sebelum menyadari kehadiran sosok yang telah ditunggu. Mahesa lantas tersenyum dan menaruh ponselnya di saku celana. Ia kemudian memandangi Ares yang kini tengah berjalan ke arahnya.

“Kecut banget itu muka.” Perkataan itu keluar dari bibir Mahesa ketika Ares sudah berada di hadapannya.

“Ga usah basa basi,” ucap Ares tidak ingin bertele-tele. “Lo mau apaan?”

Yang lebih tua lantas mulai bergerak. Ia mendekatkan tubuhnya ke arah Ares, membuat lelaki itu terkejut dengan apa yang ia lakukan.

“Kalau gue mau cium lo, gimana?” ucap Mahesa membuat pupil mata Ares melebar.

Sinting!

Tubuh Ares langsung menegang. Mendengar ucapan Mahesa membuat aliran darahnya seperti membeku. Ia tidak tahu Mahesa tengah bercanda atau tidak, tapi yang pasti Ares dibuat terkejut mendengarnya.

Ciuman? Anjing, yang bener?

Melihat raut wajah adik kelasnya membuat Mahesa tertawa, menimbulkan tanda tanya dalam benak Ares yang kini menunjukan raut bingung.

“Bercanda, bercanda. Ga usah serius gitu dong mukanya,” ucap Mahesa tanpa rasa berdosa.

Seharusnya Mahesa kini sudah terjatuh karena kakinya tertendang, namun beruntung hal itu tidak terjadi karena Ares berusaha untuk bersabar kali ini.

Meski keinginannya untuk menendang Mahesa benar-benar ingin ia lakui.

“Karena gue udah menang, gue mau lo nemenin gue selama satu bulan ini termasuk nemenin gue latihan futsal, gimana? Sepakat gak cil?”

Ares terdiam beberapa sesaat. Mau bagaimanapun, ia harus menuruti permintaan Mahesa karena kalah dalam taruhan.

Janji tetaplah janji bukan?

Maka dari itu lelaki kelahiran maret tersebut mengiyakan permintaan Mahesa meski sebagian hatinya menolak dengan keras.

“Iya, ntar gue temenin. Udah gini doang kan? Gue mau balik.”

“Bentar!” Lelaki berzodiak Aries itu menghentikan pergerakannya. Ares kemudian memandangi Mahesa yang kini membuka resleting tasnya dan meraih sesuatu yang berada di dalam tas berwarna hitamnya tersebut.

“Mana tangan lo?” Ucapan Mahesa membuat Ares mengerutkan dahinya. Lelaki itu hanya diam, ia ragu apakah ia harus percaya dengan sosok yang berada di depannya ini atau tidak.

“Mana?” Ucap Mahesa sekali lagi dengan satu tangannya yang masih berada di dalam tasnya.

Ares menghela napas, ia segera menepis segala pikiran buruk yang menguap di benaknya. Melihat wajah Mahesa yang menyakinkan membuat lelaki itu akhirnya mengulurkan tangan kanannya sesuai yang di pinta.

Lantas Mahesa segera mengeluarkan susu kotak rasa coklat dan bengbeng dari tasnya. Lelaki tinggi itu menaruh jajanan tersebut di atas telapak tangan Ares, bermaksud memberikan produk tersebut kepadanya.

“Nih,” ucapnya sambil mengulurkan tangan untuk memberikan jajanan tersebut. “Dimakan, muka lo keliatan bete seharian.”

Ares menatap kedua produk berbahan coklat itu selama beberapa saat, menciptakan suasana hening diantara keduanya. Hal tersebut cukup membuat jantung Mahesa berdegup kencang sebelum akhirnya ia memutuskan untuk memecah keheningan.

“Gue balik duluan ya, besok gue futsal. Temenin gue mulai dari besok,” kata Mahesa membuat Ares mendongak dan menatap wajah lelaki kelahiran bulan agustus tersebut.

“Gue balik duluan ya, dadah cil,” pamit Mahesa sebelum akhirnya melangkahkan kakinya untuk meninggalkan lapangan yang dimana Ares masih berdiri disana.

Lelaki berukuran lebih pendek itu menatap kepergian yang lebih tinggi, sebelum akhirnya ikut berjalan menuju parkiran sambil menggenggam kedua jajanan yang Mahesa berikan kepadanya.

Ares melangkahkan kakinya menuju lorong yang menghubungkan antara ruang tata usaha dengan lapangan belakang sekolah. Sesuai dengan apa yang Mahesa minta, ia datang ketika waktu pulang sekolah telah tiba.

Kalau boleh jujur, suasana hati Ares sekarang masih agak buruk hari ini. Kalah dalam taruhan sekaligus perdebatannya dengan sang kakak tertua menjadi alasan utama ia bermuka masam seharian. Perasaannya kemarin sangat kacau namun untungnya berangsur membaik seiring berjalannya waktu.

Namun hal itu bukan berarti perasaannya benar-benar sudah membaik. Masih terselip rasa kesal yang membuatnya menjadi bad mood seharian.

Saat sampai di lapangan yang dimaksud, mata tajamnya menangkap sesosok lelaki yang kini sedang berdiri dengan tas yang berada di salah satu bahunya, seragam sekolah lelaki itu masih lengkap, ia tampak sedang memegang ponsel di tangannya.

Ares menghela napas, sembari menaruh kedua tangannya di saku jaket berwarna merahnya. Lelaki itu melangkahkan kakinya untuk menghampiri sosok tersebut.

Mahesa sempat menoleh sebentar sebelum menyadari kehadiran sosok yang telah ditunggu. Mahesa lantas tersenyum dan menaruh ponselnya di saku celana. Ia kemudian memandangi Ares yang kini tengah berjalan ke arahnya.

“Kecut banget itu muka.” Perkataan itu keluar dari bibir Mahesa ketika Ares sudah berada di hadapannya.

“Ga usah basa basi,” ucap Ares tidak ingin bertele-tele. “Lo mau apaan?”

Yang lebih tua lantas mulai bergerak. Ia mendekatkan tubuhnya ke arah Ares, membuat lelaki itu terkejut dengan apa yang ia lakukan.

“Kalau gue mau cium lo, gimana?” ucap Mahesa membuat pupil mata Ares melebar.

Sinting!

Tubuh Ares langsung menegang. Mendengar ucapan Mahesa membuat aliran darahnya seperti membeku. Ia tidak tahu Mahesa tengah bercanda atau tidak, tapi yang pasti Ares dibuat terkejut mendengarnya.

Ciuman? Anjing, yang bener?

Melihat raut wajah adik kelasnya membuat Mahesa tertawa, menimbulkan tanda tanya dalam benak Ares yang kini menunjukan raut bingung.

“Bercanda, bercanda. Ga usah serius gitu dong mukanya,” ucap Mahesa tanpa rasa berdosa.

Seharusnya Mahesa kini sudah terjatuh karena kakinya tertendang, namun beruntung hal itu tidak terjadi karena Ares berusaha untuk bersabar kali ini.

Meski keinginannya untuk menendang Mahesa benar-benar ingin ia lakui.

“Karena gue udah menang, gue mau lo nemenin gue selama satu bulan ini termasuk nemenin gue latihan futsal, gimana? Sepakat gak cil?”

Ares terdiam beberapa sesaat. Mau bagaimanapun, ia harus menuruti permintaan Mahesa karena kalah dalam taruhan.

Janji tetaplah janji bukan?

Maka dari itu lelaki kelahiran maret tersebut mengiyakan permintaan Mahesa meski sebagian hatinya menolak dengan keras.

“Iya, ntar gue temenin. Udah gini doang kan? Gue mau balik.”

“Bentar!” Lelaki berzodiak Aries itu menghentikan pergerakannya. Ares kemudian memandangi Mahesa yang kini membuka resleting tasnya dan meraih sesuatu yang berada di dalam tas berwarna hitamnya tersebut.

“Mana tangan lo?” Ucapan Mahesa membuat Ares mengerutkan dahinya. Lelaki itu hanya diam, ia ragu apakah ia harus percaya dengan sosok yang berada di depannya ini atau tidak.

“Mana?” Ucap Mahesa sekali lagi dengan satu tangannya yang masih berada di dalam tasnya.

Ares menghela napas, ia segera menepis segala pikiran buruk yang menguap di benaknya. Melihat wajah Mahesa yang menyakinkan membuat lelaki itu akhirnya mengulurkan tangan kanannya sesuai yang di pinta.

Lantas Mahesa segera mengeluarkan susu kotak rasa coklat dan bengbeng dari tasnya. Lelaki tinggi itu menaruh jajanan tersebut di atas telapak tangan Ares, bermaksud memberikan produk tersebut kepadanya.

“Nih,” ucapnya sambil mengulurkan tangan untuk memberikan jajanan tersebut. “Dimakan, muka lo keliatan bete seharian.”

Ares menatap kedua produk berbahan coklat itu selama beberapa saat, menciptakan suasana hening diantara keduanya. Hal tersebut cukup membuat jantung Mahesa berdegup kencang sebelum akhirnya ia memutuskan untuk memecah keheningan.

“Gue balik duluan ya, besok gue futsal. Temenin gue mulai dari besok,” kata Mahesa membuat Ares mendongak dan menatap wajah lelaki kelahiran bulan agustus tersebut.

“Gue balik duluan ya, dadah cil,” pamit Mahesa sebelum akhirnya melangkahkan kakinya untuk meninggalkan lapangan yang dimana Ares masih berdiri disana.

Lelaki berukuran lebih pendek itu menatap kepergian yang lebih tinggi, sebelum akhirnya ikut berjalan menuju parkiran sambil menggenggam kedua jajanan yang Mahesa berikan kepadanya.

Ares melangkahkan kakinya menuju lorong yang menghubungkan antara ruang tata usaha dengan lapangan belakang sekolah. Sesuai dengan apa yang Mahesa minta, ia datang ketika waktu pulang sekolah telah tiba.

Kalau boleh jujur, suasana hati Ares sekarang masih agak buruk hari ini. Kalah dalam taruhan sekaligus perdebatannya dengan sang kakak tertua menjadi alasan utama ia bermuka masam seharian. Perasaannya kemarin sangat kacau namun untungnya berangsur membaik seiring berjalannya waktu.

Namun hal itu bukan berarti perasaannya benar-benar sudah membaik. Masih terselip rasa kesal yang membuatnya menjadi bad mood seharian.

Saat sampai di lapangan yang dimaksud, mata tajamnya menangkap sesosok lelaki yang kini sedang berdiri dengan tas yang berada di salah satu bahunya, seragam sekolah lelaki itu masih lengkap, ia tampak sedang memegang ponsel di tangannya.

Ares menghela napas, sembari menaruh kedua tangannya di saku jaket berwarna merahnya. Lelaki itu melangkahkan kakinya untuk menghampiri sosok tersebut.

Mahesa sempat menoleh sebentar sebelum menyadari kehadiran sosok yang telah ditunggu. Mahesa lantas tersenyum dan menaruh ponselnya di saku celana. Ia kemudian memandangi Ares yang kini tengah berjalan ke arahnya.

“Kecut banget itu muka.” Perkataan itu keluar dari bibir Mahesa ketika Ares sudah berada di hadapannya.

“Ga usah basa basi,” ucap Ares tidak ingin bertele-tele. “Lo mau apaan?”

Yang lebih tua lantas mulai bergerak. Ia mendekatkan tubuhnya ke arah Ares, membuat lelaki itu terkejut dengan apa yang ia lakukan.

“Kalau gue mau cium lo, gimana?” ucap Mahesa membuat pupil mata Ares melebar.

Sinting!

Tubuh Ares langsung menegang. Mendengar ucapan Mahesa membuat aliran darahnya seperti membeku. Ia tidak tahu Mahesa tengah bercanda atau tidak, tapi yang pasti Ares dibuat terkejut mendengarnya.

Ciuman? Anjing, yang bener?

Melihat raut wajah adik kelasnya membuat Mahesa tertawa, menimbulkan tanda tanya dalam benak Ares yang kini menunjukan raut bingung.

“Bercanda, bercanda. Ga usah serius gitu dong mukanya,” ucap Mahesa tanpa rasa berdosa.

Seharusnya Mahesa kini sudah terjatuh karena kakinya tertendang, namun beruntung hal itu tidak terjadi karena Ares berusaha untuk bersabar kali ini.

Meski keinginannya untuk menendang Mahesa benar-benar ingin ia lakui.

“Karena gue udah menang, gue mau lo nemenin gue selama satu bulan ini termasuk nemenin gue latihan futsal, gimana? Sepakat gak cil?”

Ares terdiam beberapa sesaat. Mau bagaimanapun, ia harus menuruti permintaan Mahesa karena kalah dalam taruhan.

Janji tetaplah janji bukan?

Maka dari itu lelaki kelahiran maret tersebut mengiyakan permintaan Mahesa meski sebagian hatinya menolak dengan keras.

“Iya, ntar gue temenin. Udah gini doang kan? Gue mau balik.”

“Bentar!” Lelaki berzodiak Aries itu menghentikan pergerakannya. Ares kemudian memandangi Mahesa yang kini membuka resleting tasnya dan meraih sesuatu yang berada di dalam tas berwarna hitamnya tersebut.

“Mana tangan lo?” Ucapan Mahesa membuat Ares mengerutkan dahinya. Lelaki itu hanya diam, ia ragu apakah ia harus percaya dengan sosok yang berada di depannya ini atau tidak.

“Mana?” Ucap Mahesa sekali lagi dengan satu tangannya yang masih berada di dalam tasnya.

Ares menghela napas, ia segera menepis segala pikiran buruk yang menguap di benaknya. Melihat wajah Mahesa yang menyakinkan membuat lelaki itu akhirnya mengulurkan tangan kanannya sesuai yang di pinta.

Lantas Mahesa segera mengeluarkan susu kotak rasa coklat dan bengbeng dari tasnya. Lelaki tinggi itu menaruh jajanan tersebut di atas telapak tangan Ares, bermaksud memberikan produk tersebut kepadanya.

“Nih,” ucapnya sambil mengulurkan tangan untuk memberikan jajanan tersebut. “Dimakan, muka lo keliatan bete seharian.”

Ares menatap kedua produk berbahan coklat itu selama beberapa saat, menciptakan suasana hening diantara keduanya. Hal tersebut cukup membuat jantung Mahesa berdegup kencang sebelum akhirnya ia memutuskan untuk memecah keheningan.

“Gue balik duluan ya, besok gue futsal. Temenin gue mulai dari besok,” kata Mahesa membuat Ares mendongak dan menatap wajah lelaki kelahiran bulan agustus tersebut.

“Gue balik duluan ya, dadah cil,” pamit Mahesa sebelum akhirnya melangkahkan kakinya untuk meninggalkan lapangan yang dimana Ares masih berdiri disana.

Lelaki berukuran lebih pendek itu menatap kepergian yang lebih tinggi, sebelum akhirnya ikut berjalan menuju parkiran sambil menggenggam kedua jajanan yang Mahesa berikan kepadanya.

Pandangannya gelap, seluruh wajah serta tubuhnya terasa remuk, sakit karena dihajar oleh beberapa orang bertubuh besar sementara ia hanya sendiri tanpa

Berita pembunuhan yang membombardir kota ini membuat para warganya tak mau ambil resiko untuk menjadi sasaran selanjutnya.

Buktinya di jam delapan malam, kota ini sudah terlihat mati tak bernyawa.

Kantor yang biasa membuat karyawan lembur hingga larut malam kini mempercepat jam pulang para pekerjanya.

Beberapa toko yang terkadang buka hingga bulan menampakan sinar sudah menutup tirai ketika senja menyapa.

Club yang biasanya buka untuk mereka yang ingin berpesta tutup sementara karena tidak ingin bertambahnya korban jiwa.

Saat malam tiba, nyawa kota seolah menghilang. Tidak ada orang yang berlalu-lalang, tidak ada sekelompok warga yang menikmati indahnya waktu beristirahat, tidak ada suara kendaraan yang mengisi heningnya malam.

Yang masih hadir hanyalah suara para hewan nokturnal dan sekumpulan orang bejat yang akan mengambil kesempatan dikala kamu sedang lengah.

Minggu ini adalah minggu yang membuat siapapun bergidik ngeri kala mendengar kisahnya, menciptakan mimpi buruk bagi mereka yang ketakutan, dan memberikan suasana mencekam yang tidak kamu harapkan.

Semua hal-hal buruk serta menakutkan itu membuat para warga tidak punya pilihan selain berlindung, membiarkan kejahatan serta situasi berangsur mereda. Ketika semuanya sudah membaik, mereka baru akan berani melakukan aktivitas seperti biasanya.

Namun di tengah gempuran kabar yang membuat hati merasa resah, sesosok pria bertopi hitam dengan santainya berjalan di jalanan aspal bersinar remang.

Pria yang nampak berumur dua puluhan keatas itu sepertinya tidak takut dengan hal buruk yang bisa saja menimpanya.

Hahaha, untuk apa ia takut jika ia adalah sosok yang lebih menakutkan dibanding para manusia keji itu?

Jika benar ada orang yang akan berbuat jahat padanya, maka Marvin dengan senang hati akan memberikan dua pilihan.

Pulang dengan selamat dan berubah menjadi manusia baik murah hati atau pulang ke dalam tanah dengan kepala yang sudah putus dari nadi.

Di tengah sinar bulan yang menerangi hitamnya langit malam, Marvin melangkahkan kakinya menuju jalan yang mengarah ke arah hutan.

Sembari sesekali membetulkan posisi topinya, Pria kelahiran agustus itu tersenyum tipis mengingat kejadian yang ia anggap sebuah hiburan singkat di malam hari.

Si kerdil galak yang ia temui tadi sore, dengan tatapan ganas serta sinisnya berubah menjadi sesosok penakut yang blak-blakan ketika Marvin mengerjainya.

Lucu sekali, apalagi ketika mendengar Raska menutup pintu dengan kasar membuat Marvin ingin tertawa kencang.

Si pendek sok sinis nyatanya memendam nyali tikus di dalam dirinya.

Ah, ia seperti orang gila saja tersenyum di dini hari seperti ini. Dengan cepat Marvin langsung mengubah raut mukanya menjadi datar tanpa celah ketika sudah memasuki perkarangan rumah di tengah lebatnya pohon hutan.

Rumah itu terlihat besar dengan arsitektur sederhana, kondisi rumah yang bagus dan tak tampak dimakan oleh zaman membuat orang pasti berpikir “Mengapa ada rumah sebagus ini ditengah hutan belantara?”

Si Leo memasuki area halaman depan sebelum akhirnya ia membuka pintu dan masuk kedalam rumah yang bersuhu sedikit dingin.

Kondisi rumah yang sepi membuat langkah kakinya terdengar di seluruh ruangan. Entah dimana Noah serta lainnya, mungkin mereka sedang berada di dalam kamar atau di luar area rumah. Namun yang pasti suasana bangunan ini begitu hening dan tenang.

“Sudah selesai dengan urusanmu, Marvin?” Suara itu terdengar ketika Marvin memasuki area dapur. Membuat mata berpupil hitam itu langsung mengarahkan pandangan ke sosok yang sedang berdiri dekat meja makan.

Oh, pria tua itu lagi.

Si Leo bersikap biasa saja, seolah suara berat milik pria itu hanya angin yang lewat di antara telinganya.

“Noah bilang kau berpergian malam ini, tidak ada seseorang yang mencurigai mu 'kan?” Tanya pria itu lagi sembari melihat Marvin yang berjalan sambil melepas topinya.

“Tidak ada orang di jalanan, semua sudah masuk ke dalam rumah,” jawabnya sambil menaruh topi diatas meja pantry lalu menyandarkan tubuhnya.

“Jika pun ada yang curiga, sudah ku pastikan ia akan bungkam selamanya, Jayden.” Si pemilik nama menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Sifat sepupunya ini memang tidak pernah berubah sejak dulu.

“Kau sudah tau tentang berita hari ini?” Jayden duduk di salah satu kursi lalu menyilangkan kakinya. Sambil memegang koran ditangannya, ia menatap Marvin dengan tenang.

“Soal pembunuhan itu? Satu kota membicarakannya, tidak mungkin aku tidak tahu perkara soal itu.” Jujur saja, bahan pembicaraan warga yang itu-itu saja membuat Marvin bosan. Entah di cafe, toko, maupun jalanan. Semua orang membicarakan berita mengenai penemuan jasad yang membuat seisi kota gempar.

“Sepertinya kau kelewatan satu hal.” Si yang lebih tua berdiri, ia berjalan dan berhenti tepat di hadapan Si Leo. Tangannya menyodorkan koran pagi yang tadi ia baca, membuat Marvin lantas mengambil lembaran kertas tersebut lalu membacanya.

Dahinya mengerut, melihat berita yang Jayden berikan membuat Marvin lantas menegakan kepalanya, ia menatap Si Aquarius seolah meminta penjelasan.

“Mereka kembali, dan sepertinya mereka adalah dalang dari semua ini,” ucap Jayden dengan nada serius. “Mereka tampak lebih berani kali ini, Marvin. Jika mereka lebih nekat dari sebelumnya, kita tidak ada pilihan selain melawan.”

Si Leo meletakan koran itu di sampingnya dengan kasar. Lagi dan lagi ia harus berhadapan dengan mereka yang mengancam identitas para makhluk penghisap darah yang sejenis dengannya.

Sialan, Marvin bersumpah akan menghabisi mereka jika mereka dengan beraninya mengusik ketenangannya.

Berita pembunuhan yang tengah membombardir masyarakat membuat jalanan kota yang awalnya terasa hidup tak kenal waktu menjadi sunyi dan hening.

Biasanya masih ada beberapa warga yang berkumpul untuk sekedar bertemu, lalu mereka akan mengobrol hingga lupa waktu dan akhirnya pulang dengan kondisi tubuh yang ingin segera bertemu dengan kasur.

Berita dua insan yang mati membuat kota ikut terasa mati.

Menghindari terjadi musibah, para warga lebih memilih untuk tetap berlindung didalam rumah. Jam kantor yang biasanya para karyawannya pulang di jam 7 hingga jam 8 malam kini dipercepat menjadi jam 5 atau jam 6 sore.

Para pedagang toko yang biasanya masih membiarkan lampu toko menyala kini tutup ketika senja menyapa.

Bar yang biasanya terbuka untuk mereka yang ingin berpesta juga tutup karena tidak ingin adanya korban jiwa.

Suasana benar-benar sunyi, yang masih beroperasi sepanjang malam hanya rumah sakit dan kantor polisi. Sisanya memilih cari aman untuk terhindar dari hal yang tidak-tidak.

Namun kejadian mengerikan yang akhir-akhir ini menimpa kota kecil yang terletak diujung negara nampaknya tak membuat gentar lelaki yang kini sedang berjalan ditengah remangnya lampu jalan.

Marvin melangkahkan kakinya dengan santai, menyusuri tiap lekuk jalanan beraspal tanpa memikirkan tindak kriminal yang mungkin saja bisa menimpanya.

Untuk apa dipikirkan? Sebelum seseorang berbuat jahat padanya sudah dipastikan orang itu mati ditangannya.

Tidur dalam kondisi lelah seharusnya membuat tidurmu menjadi lebih nyenyak karena akhirnya tubuh dapat merasakan hangatnya kasur yang dinantikan.

Tapi tidak bagi Raska. Tidak-tidak, tidurnya yang sebelumnya terasa amat nyenyak sampai pada akhirnya ia mendengar suara kerikil kecil yang dilemparkan kearah jendela rumahnya.

Sialan.

Raska bangun dengan muka kusut serta jengkelnya. Dengan mata yang masih setengah tertutup, pemuda kelahiran maret itu berjalan lalu membuka gorden kamarnya dengan kasar.

“HEI! APA KAU TIDAK PUNYA SOPAN SANTUN?! INI SUDAH MALAM BODOH! JANGAN GANGGU JAM TIDURKU!” teriak Raska begitu melihat siluet bayangan seseorang di depan rumahnya. Pria itu geram. Brengsek, ia jadi tidak bisa tidur karena ulah orang ini.

“KAU TIDAK MENDENGARKU SIALAN?” Kekesalannya memuncak. Orang yang berdiri di depan rumahnya hanya diam sambil melihat kearahnya.

Oh tuhan, tolong Raska hanya ingin tidur nyenyak malam ini.

“Bajing-” Kalimat Si Aries terputus. Sesosok bertopi hitam itu mendadak hilang dari pandangannya berangsur dengan munculnya suara ketukan di pintu rumah yang terdengar cukup keras.

tok tok tok

“Apa-apaan.” Raska tidak tahu apakah ia sedang bermimpi atau berhalusinasi. Ia bersumpah tadi ia melihat seseorang berdiri tepat di depan rumahnya. Namun anehnya orang tersebut mendadak hilang entah kemana.

Kenapa orang itu berlari cepat sekali? Jarak antara jendela kamar dan pintu rumah lumayan jauh. Apa ia sedang dikerjai?

Pikiran Raska melayang, ia sungguh kebingungan.

tok tok tok

Suara ketukan pintu terdengar mulai mengeras. Mengalihkan atensi Si Aries yang membuat lelaki itu bertekad untuk mencari tahu siapa yang berani mengerjainya di jam 1 subuh.

Berbekal keberanian, Raska berjalan pelan menuju pintu rumah, meninggalkan Haries yang masih tertidur lelap.

“Halo?” ucapnya saat sudah berada di lorong menuju pintu. Lelaki Aries itu menekan saklar lampu ruang tengah, kalau boleh jujur ia mulai merinding sekarang.

Suasana sunyi dan hening membuat jantung Raska berdegup keras. Lelaki itu bersumpah akan memberi pelajaran bagi orang yang mengerjainya di dini hari seperti ini.

Kakinya melangkah dengan pasti. Berjalan ke depan pintu berwarna putih yang kini mulai tidak diketuk lagi.

Ketika sudah tepat berada di depan pintu kayu itu, Raska mengintip lewat lubang intip yang ia pasang di pintunya. Mengecek keadaan apakah situasi berbahaya atau tidak.

Merah.

Yang ia lihat hanya merah.

“Apa?” Lelaki Aries itu memundurkan kepalanya. Kenapa yang ia lihat hanya warna merah? Apa lubang intipnya terkena noda? Tapi seingat Raska tidak ada noda apapun yang menempel di pintu.

Si Maret kembali mendekati lubang intip tersebut. Ia sedikit mengintip namun kali ini ia berusaha untuk memfokuskan pandangan serta penglihatannya.

Kali ini, yang ia lihat hanya pemandangan jalanan beralaskan aspal yang gelap karena lampu jalan yang menyala remang.

Si Maret bingung setengah mati. Ia yakin sekali ia melihat sesuatu berwarna merah saat mengintip tadi.

Suasana hening beberapa saat. Raska terdiam. Punggungnya terasa sangat dingin, bulu kuduknya berdiri tanda merinding.

BRAKK.

Ditengah keheningan yang menguasai, jendela rumah Raska didorong lumayan keras. Menciptakan suara nyaring yang mampu membuat jantung Raska mencelos saking kagetnya.

BRAK BRAK BRAK.

“Sialan!” Raska kalang kabut, lelaki itu yakin bahwa ia sedang tidak bermimpi. Suara serta ketukan itu terasa begitu nyata.

Dengan tubuh yang menegang, lelaki kelahiran maret itu segera berlari menuju kamar dan mengunci pintunya.

Masa bodo dengan suara atau oknum dibalik ini semua. Ia hanya ingin tidur dan segera melupakan kejadian menakutkan ini.

Disisi lain, Marvin tertawa. Lelaki itu terkekeh didepan rumah yang berwarna putih susu itu.

Mendengar derap langkah Si Aries ketika berlari serta pintu yang ditutup cukup keras, membuat lelaki itu membayangkan bagaimana wajah ketakutan serta tingkah panik si kelahiran maret.

“Rasakan itu, kerdil,” ucap Marvin di sela kekehannya.

Jujur saja, keluar rumah diatas jam 10 malam bukan kebiasaan lelaki yang kini tengah memanaskan motor hitam di halaman depan rumahnya.

Biasanya jam segini Mahesa sudah berada di dalam rumah dan memilih untuk belajar atau bermain game hingga sang fajar tiba. Baginya keluar sampai larut malam itu buang-buang waktu, boros bensin dan tenaga. Makanya Mahesa selalu pulang tepat waktu ketika sedang berkumpul dengan teman-temannya.

Si Leo keluar dari pintu rumah sambil membawa paper bag yang entah berisikan apa. Dengan memakai hoodie berwarna abu-abu dan celana pendek yang panjangnya selutut. Mahesa menaiki motornya dan menjalankan kendaraan yang identik dengan roda duanya itu.

Entah apa yang membuat Mahesa rela keluar di jam 11 malam. Namun baginya, seperti ada sesuatu yang harus segera diselesaikan.


Seperti apa yang diminta Mahesa, Ares kini tengah duduk di sofa ruang tengah sambil menyalakan televisi untuk menciptakan suasana ramai bangunan yang berdominan cat berwarna putih ini.

Si Aries menghela napas. Rumahnya benar-benar terasa hening. Ayahnya kerja di luar kota dengan membawa adiknya dan kakaknya yang kuliah di jogja membuat Ares merasa kesepian karena harus tinggal di dalam rumah ini.

Tidak ada siapa-siapa disini kecuali dirinya. Tidak ada pembantu yang diperkerjakan, tidak ada pula satpam yang bertugas, membuat Ares benar-benar tinggal sendirian di rumah yang sudah berumur ini.

Berbekal tekad dan keberanian. Lelaki kelahiran maret itu memutuskan untuk mengumpulkan uang tabungannya agar bisa menyewa kamar kos jika ia sudah merasa tidak betah tinggal di rumah sendiri.

Bayangkan saja, di dalam rumahmu sendirian, sepanjang hari, sepanjang malam. Dengan memori buruk yang tersimpan disana. Apakah kau tahan dengan semua bayang-bayang yang menghantui mu?

Belum lagi bayangan sang ibunda yang telah tiada terus menerus terbayang di dalam benaknya. Bayangan senyum dan tawa ibunya, pelukan serta usapan hangat yang biasa diberikan ketika lelaki itu sedang bersedih kini hanya sekedar memori yang tersimpan rapat di ingatannya.

Ares tak bisa lagi merasakannya, ia tidak bisa lagi merasakan langsung bagaimana kasih sayang ibu ketika ia sudah beranjak dewasa.

Ketika anak itu sedang bersedih karena dunia yang terasa begitu kejam padanya, tidak ada lagi tempat berpulang untuk mengeluarkan isi hatinya.

Tidak ada lagi tempat ia mengadu ketika semesta menghantamnya dengan kenyataan yang begitu menyakitkan

Tidak ada lagi pelukan serta nasehat hangat yang membangun pondasi agar ia terus berdiri tegap.

Semua hilang, dan Ares rindu akan perasaan itu.

Ares menghela napas. Ia melihat sekelilingnya, melihat seberapa hampa ruangan yang ia tempati sekarang. Suara keras yang keluar dari televisi tak mampu meredam rasa kesepian yang selama ini lelaki alami.

“Ares?” Suara lembut itu membuyarkan lamunan Si Aries. Sadar bahwa dirinya dipanggil membuat Ares segera mengusap wajahnya lalu beranjak menuju pintu yang kini tengah menjadi penghalang antara ia dan Mahesa.

“Apa?” ucap Si Maret setelah membukakan pintu. Dihadapannya kini terlihat Mahesa sedang tersenyum sambil menyodorkan sebuah paper bag di tangannya.

“Ini, gue bikinin salad. Kalau masih laper dimakan ya? jangan makan junk food terus. Gak bagus,” ucap si lelaki agustus.

Ares sempat diam beberapa saat sampai akhirnya menerima tas yang lelaki itu berikan.

“Res, gue minta maaf sempet gak liat lo di lapangan tadi. Gue mau samperin lo, ternyata lo udah pulang sama Tara.” Mahesa memulai percakapan antar keduanya.

Mata Si Leo menatap Ares dengan tatapan teduh, lelaki itu terdengar tulus ketika menyampaikan permintaan maafnya. Mahesa tersenyum dan kembali berkata, “Kalau lo udah ada di lapangan panggil nama gue aja ya? Panggil nama gue tiga kali pasti gue bakalan langsung nengok kok.”

Ares tidak tahu apa yang ia rasakan setelah mendengar penuturan si agustus. Hatinya terasa hangat, kehampaan yang awalnya mengisi ruang kosong di hatinya mendadak diisi oleh bunga yang membuat Ares merasa aliran dalam daranya mengalir sangat cepat. Menciptakan rasa aman dan nyaman membuat Ares merasa tubuhnya ikut menghangat.

“Abis ini tidur ya, cil. Maaf kalau gue ganggu lo di jam segini. Habis ini gue bakal langsung pulang kok,” ucap Mahesa sambil menunggu jawaban di Si Maret.

Yang lebih muda tampak diam, Ares belum mengeluarkan sepatah kata apapun dari mulutnya. Sampai pada akhirnya ranum merah itu bergerak, membuat Mahesa sukses merasa kembang api sedang menyala dalam dirinya.

“Gue kangen lo hari ini, kangen pat-patnya juga,” ucap Ares pelan sambil memandang Mahesa dengan sedikit keraguan. Ia takut jika Mahesa bertindak diluar ekspektasinya.

Namun siapa sangka, lelaki Leo itu malah tersenyum dan lantas menepuk-nepuk pelan kepala Ares dan sedikit mengusapnya.

“Lo udah lakuin yang terbaik hari ini,” ucapnya sambil terus mengusap pelan rambut hitam Ares.

Lelaki kelahiran bulan maret itu memejamkan mata, menikmati perasaan nyaman ketika tangan Mahesa membelai rambutnya. Namun beberapa detik setelahnya Ares merasa bahwa badannya terasa memberat, seperti ada sesuatu yang bersandar ke tubuhnya.

Di detik berikutnya lelaki itu membuka mata dan mendapati Mahesa kini tengah memeluk tubuhnya.

Ares membeku, otaknya mendadak tidak bisa memproses apa yang sedang terjadi hingga akhirnya ia merasa bahwa ada sebuah tangan yang sedang mengelus punggungnya pelan.

“Tidur nyenyak malam ini ya?” Suara lembut Mahesa menerpa indra pendengarannya. Ares menghela napas panjang lalu balas memeluk punggung tegap lelaki kelahiran agustus. Kepalanya ia sandarkan ke bahu lebarnya. Wajahnya sedikit ia tenggelamkan ke leher Mahesa.

“Lo juga,” ucapnya pelan sambil mengeratkan pelukan.

Di tengah malam yang tidak menampakan bintang, di tengah semilir angin dingin yang menerpa keduanya, kedua anak adam itu saling menyalurkan kehangatan dan perasaan yang mulai terjalin antar keduanya.

Ares sudah menemukan rumah tempatnya berpulang sekarang.

AESTERIED

“Sepertinya kau benar, aku tak perlu terlalu memikirkan perkataan mereka yang membuatku jengkel,” ucap Raska sambil meneguk minuman berwarna ungu yang kini tersisa sedikit di gelasnya.

Haries mengangguk, kemudian meneguk minuman anggur miliknya sampai habis. Keduanya terlihat mengantuk apalagi jarum jam sudah menunjukan pukul setengah dua belas malam. Setelah sedikit berdebat akhirnya Si Gemini memutuskan untuk menginap dirumah Raska. Mereka akan tidur dikamar Si Aries karena kebetulan Raska tidak memiliki kamar tamu.

“Aku akan keatas, aku benar-benar mengantuk sekarang,” ucap Haries yang setelahnya berjalan menuju kamar sahabatnya, menyisakan Raska yang kini tengah membereskan ruang tengah.

Si Maret terlihat sesekali menguap. Kepalanya terasa sedikit pusing, tubuhnya mulai sempoyongan. Mungkin ini adalah efek dari minuman anggur yang ia minum sedikit banyak tadi.

Saat tengah membereskan DVD yang berserakan, matanya tak sengaja melihat kearah jendela yang terbuka lebar. Angin malam yang berhembus kencang membuat gorden berkibar layaknya bendera.

Setelah membereskan DVD yang ia tonton bersama Haries, Raska berjalan kearah jendela lalu menutupnya dengan rapat.

Saat hendak menutup gorden, mendadak pergerakannya terhenti. Sambil mencengkram gorden hitam ditangannya, Si Aries menyipitkan mata, berusaha memastikan apakah penglihatannya sekarang sedang berfungsi dengan baik atau tidak.

Di sana, di ujung jalan tepat dari arah Raska terlihat seseorang kini tengah melambaikan tangan kearahnya.

Oh astaga, sepertinya kau benar-benar harus tidur sekarang, Raska.

Terletak di ujung negara dengan lingkungan yang asri dan menyejukkan menjadikan kota yang dikenal dengan sebutan 'kota seribu hijau' sebagai salah satu tempat impian bagi dia yang ingin merasakan kedamaian.

Tempatnya yang tidak terlalu ramai dengan semua fasilitas yang terpenuhi, dimulai dari toko, kantor pos, bahkan rumah sakit membuat kota ini menjadi destinasi impian semua orang.

Kota yang dulunya damai dengan segala aktivitas warganya yang terbilang 'normal' mendadak berubah menjadi sedikit mencekam.

Dua berita tidak mengenakan terdengar sampai ke telinga warga, mengalihkan atensi masyarakat, membuat mereka yang awalnya merasa aman dan tentram menjadi sedikit waspada akan keadaan.

Peristiwa pembunuhan beruntun terjadi, tepat dua hari yang lalu mayat seorang perempuan berumur kepala tiga ditemukan tergeletak dipinggiran perbatasan antara hutan dan perkotaan.

Para warga berspekulasi, ada yang berkata bahwa itu adalah ulah binatang buas dan sebagian lainnya berpendapat kalau itu terjadi karena ulah kejahatan manusia.

Sampai detik ini polisi masih menyatakan bahwa kasus perempuan itu adalah sebuah kasus pembunuhan.

Namun sepertinya masyarakat tidak dibiarkan untuk tenang sejenak.

Berita serupa terjadi lagi. Jasad seorang pria ditemukan di area gelap jalanan sepi dekat area gedung pembangunan yang sayangnya gagal beroperasi akibat kurangnya pondasi dan biaya.

Dua jasad itu ditemukan memiliki pola yang serupa. Keduanya berwajah pucat, darah mereka kurang dari yang semestinya, serta area leher dan bahu terkoyak parah membuat para investigator mengira bahwa ini adalah ulah pembunuh berantai.

Raska menghela napasnya berat, melihat berita yang terpampang di televisi cafe membuatnya berpikir untuk mulai berkerja cepat agar tidak pulang larut malam.

Kondisi mulai berbahaya, ia harus memasang kunci ganda di pintu rumahnya untuk mencegah aksi kriminal yang menimpanya.

“Berhati-hatilah, Raska. Jangan pulang sendirian,” ujar Haries yang menyaksikan berita tersebut sambil menyesap kopi pesanannya.

“Sepertinya kita harus sering pulang bersama setelah berkerja.” Haries mengangguk tanda setuju akan perkataan sahabatnya.

“Tidakkah kau berpikir bahwa ini adalah ulah mereka?”

Si Aries menoleh, mendengar gerombolan anak muda yang sedang membahas berita itu membuat Raska tertarik akan obrolan mereka.

“Maksudmu?” tanya Raska kepada perempuan yang tadi berbicara.

Si perempuan menjawab, “Mereka, mereka para vampir. Tidakkah kau berpikir ini adalah ulah mereka?”

“Oh ayo lah, zaman sekarang kau masih berpikiran seperti itu? yang benar saja.” Perkataan Raska mengundang perhatian orang di sekitarnya. Terlihat lelaki Maret itu menatap sinis perempuan yang kini tengah berdebat dengannya.

“Tidakkah kau melihat beritanya? Mereka memiliki ciri yang sama, mereka sama-sama kehabisan darah. Siapa makhluk yang menghisap darah selain vampir?” ucap perempuan itu tak mau kalah membuat Raska menjadi sedikit jengkel.

“Mereka yang kamu sebut tidak nyata. Kau harus mengurangi imajinasi aneh yang ada didalam kepalamu.” Raska berhasil membuat gadis itu terdiam. “Untuk ukuran anak muda sepertimu seharusnya kau tidak bersikap bodoh dalam hal seperti ini.”

Si Aries berdiri dengan kasar, membuat kursi yang ia duduki mengeluarkan suara nyaring karena bergesekan dengan lantai yang terbuat dari keramik.

Kakinya melangkah, diikuti oleh Haries yang berjalan dibelakangnya. Si Maret pergi meninggalkan tempat serta orang-orang yang sedari tadi memperhatikannya.


“Bisa-bisanya ada seseorang yang berpikir seperti itu ditengah era yang sudah maju sekarang.” Sambil berjalan, Raska menendang batu yang ia temukan di trotoar dengan kasar. Melampiaskan rasa kesalnya karena perdebatan kecil antara ia dan gadis berambut pirang tadi.

“Sudahlah biarkan saja, jangan dipikirkan,” ucap Haries berusaha menenangkan sang sahabat.

“Tapi itu konyol! Bisa-bisanya mereka mempercayai adanya vampir yang hidup di kota ini!” ujar si Maret cukup keras. Ia sudah muak mendengar ocehan orang-orang.

Raska termasuk orang yang tidak percaya bahkan menentang mitos yang beredar di masyakarat. Baginya makhluk seperti putri duyung, peri atau bahkan unicorn hanya dongeng yang diciptakan agar anak-anak tidur dengan nyenyak.

Termasuk vampir yang menjadi bahan pembicaraan mereka saat ini.

Ah, vampir tak mungkin nyata. Itu hanya akal-akalan orang saja agar ceritanya laris dan menjadi buah bibir masyarakat.

“Jadi kau termasuk orang yang tidak mempercayai kehadiran mereka?”

Suara berat itu berhasil mengalihkan perhatian si Aries. Raska menoleh kesana kemari, mencari siapa yang berkata barusan hingga akhirnya siluet matanya menangkap sesosok pria berkemeja ungu dengan pola kotak-kotak sedang duduk membaca koran didepan toko roti milik nyonya Tasha.

Pria itu memiliki rambut hitam serta terlihat berperawakan tinggi yang membuat Raska berpikir bahwa pria ini seumuran atau bahkan sepertinya berusia lebih tua darinya.

“Kau berbicara denganku?” ucap Raska kepada pria itu untuk memastikan.

“Siapa lagi selain kau yang berbicara tentang makhluk penghisap darah di sekitar sini?” jawab pria itu tanpa mengalihkan pandangannya.

Lelaki berbadan tegap itu masih memperhatikan koran yang ia baca. Bahkan sekali-kali terlihat pria itu menggerakkan korannya agar lebih nyaman membaca.

Si Aries memutar bola matanya. Orang bodoh lagi, batinnya.

Kaki Raska melangkah, berniat untuk meninggalkan pria itu sampai akhirnya sebuah kalimat keluar dari bibir si pria menjengkelkan.

“Jawab pertanyaanku, pendek.”

Raska mengepalkan tangannya, ia menatap pria yang kini dengan santainya duduk sambil menyilangkan kaki jenjangnya.

“Apa kau bodoh? Tentu tidak, sialan.” Mendengar perkataan yang keluar dari mulut sang sahabat membuat Haries menahan napas. Sungguh berani tingkah temannya yang langsung memaki pria tak dikenal ini.

Lelaki berambut hitam itu menutup korannya. Dengan langkah pasti, ia berjalan kearah Si Aries dan berhenti tepat dihadapannya. Raska terdiam, melihat mata bulat berwarna hitam itu membalas tatapannya membuat si lelaki kelahiran maret merasa sedikit ciut.

Suasana mendadak terasa sedikit tegang dan Raska merasa agak terintimidasi.

“Jaga bicaramu, tuan sok tahu. Mereka yang kau sebut sebagai vampir itu nyata, dan jika kamu sadar, mereka sedang berada disekitar mu sekarang,” ucap lelaki itu yang diakhiri dengan senyuman miring yang membuat Raska menahan mati-matian keinginannya untuk memukul kepala pria yang kini berjalan pergi meninggalkannya.

Dasar keparat.

AESTEREID